Holaa evribadi...…
Disore
yang dingin nan mendung ini paling muantep kalau makan mi instan, campur telur
(kalau perlu dua biji), tambah tomat dikit, kubis dikit, sledri dikit, wortel
dikit sama suwiran ayam dan bawang goreng, tapi yang ini gak boleh dikit, kudu banyak-banyak,
hehe... Dimakan selagi hangat dengan tambahan kecap dan saus tomat (minus
apapun yang berbau cabe tentu saja). Rasanya mesti.. beuhhh…
Siapa
yang gak kenal mi? makanan mahapraktis superheronya mahasiswa ditanggal tua.
Makanan mirip cacing ini penyelamat perut saat makanan lain udah mulai jauh
dijangkau harga dirinya sama dompet yang entah kenapa mulai sering terkena marasmus
kwashiorkor semenjak saya mahasiswa. Gendut sih, tapi isinya nota sama resi ATM
semua. Paling ramah, fleksibel dan banyak rasa… pokoknya tipe ‘gue banget’ lah
buat anak kuliahan. Jadi, dengan benda bernama mi instan ini kita memang rentan
jatuh cinta. Soalnya pesonanya itu lohh, gak kuaaa~tt… :’D
Ngomongin
mengenai mi ya gaes, saya aselinya penggila no satu. Saya udah jatuh cinta sama
makhluk itu sejak dulu-dulu kala. Mau dimasak apa juga, lha wong kok dimasak, dikremes campur bumbu gitu aja saya doyan
kok. Haha… tapi tetteep, buatan emak saya (kayak yang saya tulis diatas) yang
paling ajib. Apalagi semenjak kuliah, dengan segenap sikon yang sering trek
dung lalalaa harusnya makin cinta dong ya. Iya, seharusnya…
Tapi…
mungkin seantero asrama udah paham kalau saya yang pualing ‘gak deket’ sama
benda ini. Sampe-sampe kalau kepergok lagi buat mi kata-kata semisal “Wess… Mbak Vi buat mi ee…”, “Eh tumben
Mbak, tanggal tua yaa” bakal kedenger sampe mana-mana. Soalnya saya memang yang paling rewel kalau liat mereka pada buat
mi instan. Langsung mirip mami-mami rempi yang nemuin anaknya lagi main di becekan
padahal baru habis Mandi gitu lah.
Iyaa..,
dengan berat hati saya harus mengingkari perasaan sendiri. Dengan banyak alasan
saya kudu menjauh dari apa yang saya suka. Soalnya si e-mi ini, katanya, kurang
baik buat kesehatan. Diluar dari kontroversi itu bener atau gak. Peduli amat.
Yang pasti –bagi saya- sesuatu yang instan itu memang… engg kurang baik. Hehe… Cuma itu? Iya Cuma itu. Cuma gara-gara itu? Iyaaa… Cuma gara-gara itu. Cuma gara-gara saya
pernah dapat nasehat kalau seorang wanita itu seharusnya menjaga dirinya
baik-baik, semuanya, tak terkecuali perut yang memang asset no wahid buat
wanita. Jadi meski berat hati, saya memilih mundur teratur dari makanan penuh
pesona itu. T..T
Kalau
ada yang nyangka saya lebai, ndak papa. Its
ok. Ini Cuma masalah pilihan kok.
Eungg…saya
pernah mengamati sesuatu (halah) kalau
yang membedakan antara anak kecil dan orang dewasa salah satu yang sederhana
adalah jika anak kecil melakukan apa yang menyenangkan hatinya sedang
orang dewasa melakukan apa yang bermanfaat bagi
dirinya.
Contoh
yang saya tiru dari salah satu suhu saya adalah ketika saya mau mendengarkan
sesuatu dari play list saya. Dalam kondisi biasa, pas mood lagi baik-baik aja,
terus saya milih muter lagu-lagu jaman saya muda, artinya saya hanya mau
memuaskan keinginan saya saja, karena saya gak tau apa manfaatnya buat diri
saya dari lagu-lagu itu. Ya kan suka aja,
biar seneng gitu Vi. Bisa rilex. Iya, tadi kita udah bahas kan masalah ini?
kalau cara berfikir anak-anak itu hanya menurut apa yang menyenangkan hatinya. That’s all.
Tetapi
ketika yang saya putar kemudian adalah murottal –meski awalnya gak biasa-
artinya otak saya udah mau mulai diajak mikir. Yah, meskipun masih
ngesot-ngesot, yang penting ada usaha. Semoga Allah kuatkan dan melembutkan hati saya dengan mendengar hal-hal
baik itu.
Tapi ini maksudnya bukan ngelarang bersenang-senang lho yaaa..... ini gak 'sesempit' itu. ah saya yakin pada paham lah yaa...
Tapi ini maksudnya bukan ngelarang bersenang-senang lho yaaa..... ini gak 'sesempit' itu. ah saya yakin pada paham lah yaa...
Nah,
kasusnya sama aja kayak mi instan. Waktu saya pingin makan benda itu
terus-terusan saya jadi suka mikir. Gimana besok kalau gegara mi yang punya
marga ‘instan’ ini mempengaruhi sesuatu mesti duikiiit aja dari diri saya. Terus
tar ngebikin si dede bayi nangis goak-goakan karena suatu hal yang kata dokter “ini karena ibunya dulu suka makan jangfut
kaya mi instan”. Nahloh kan, saya gak bisa bayangkan gimana saya nyalahin
diri saya saat itu, soalnya sebelumnya jelas-jelas saya udah tau kalau itu GAK sehat.
Eh..bentar,
maafkan otak saya kalau mikirnya kejauhan ya, bawaan lair je, susah diilangkan. Jadi intinya saat ini saya benar-benar belajar,
menguat-nguatkan hati lebih tepatnya untuk meminimalisir seminim-minimnya berdekatan dengan apapun yang kurang bermanfaat kecuali kepepet Itu.
Mungkin
ada sebagian yang pingin teriak, Vivi
sumpah, kamu lebai parah. Aku kenal si A, hobinya makan jangfut, tapi
anaknya bullet-bulet, putih gemuk noh. Jadi gak usah segitunya lah…. Okee.. nyantai gaiss… kan udah dibilangin sama
saya, ini cuma masalah pilihan kok. :D
Seperti
sebuah kebun yang dipelihara keadaannya. Dicukupi pupuknya, dihitung kadar
airnya, dijauhkan dari pestisida berbahaya dan dijaga selalu dari para hama. Saat
ditanami apa kemungkinan besar yang akan terjadi? Saya cuma mengajak berlogika
sederhana, terlepas faktor X disana. Karena sekali lagi memang segala sesuatu
Allah yang menentukan, toh kita manusia hanya berusaha. Cuma, bukankah Allah
melihat siapa yang bersungguh-sungguh dan memberikan balasan dari apa yang
telah diusahakannya?
Kalian para wanita, kelak akan Allah titipkan seorang bayi
dari Rahim kalian, yang akan menjadi penerus, kebanggaan dan penyejuk mata.
Tidakkah kalian menginginkan yang demikian? Ikhtiarkan dengan mempersiapkan
kedatangannya semaksimal yang kalian bisa.
Sesuatu
yang baik, lebih memungkinkan dihasilkan dari tempat yang baik, awal yang baik,
asal yang baik, dan dengan cara yang baik pula.
***
Sebenarnya
tulisan njladrah diatas bukan poin dari apa yang ingin saya sampaikan. Saya Cuma
mau bilang kalau hidup itu pilihan. Kenapa kemudian saya memilih mi? Mungkin
karena itu satu hal sepele yang keputusannya tak perlu diambil sampai dengan
cara istikharah. Sekaligus simbol seberapa serius kita berusaha untuk menjadi
baik. Berawal dari yang sederhana untuk sesuatu yang luar biasa. Jika dari hal
yang sederhana saja kita mau berfikir baik buruknya saya yakin untuk hal-hal
yang lebih besar tak akan jadi soal.
Begitu
banyak hal didunia ini yang kita merasa senang melakukannya meski kita tahu itu
buruk untuk kita. Sebagai penanda bahwa kita memang masih jauh dari dewasa
bukan?. Tapi syukurlah Tuhan mencipta ‘pilihan’. Penyelamat diri ditengah nafsu
yang –katanya- sulit ditundukkan.
Selain
itu, dari mi ini saya cuma mau mengajak berfikir, bahwa sebenarnya semua
pilihan ada ditangan kita. Apakah kemudian kita memilih sholat tepat waktu atau
mengulur-ulur waktu, memakai celana jins atau celana bahan, memakai baju ketat atau longgar, tersenyum atau
cemberut, memilih tidur ba’da shubuh atau tidak, melirik ‘dia’ diam-diam atau
menundukkan pandangan, mengeluh atau mengambil hikmah. Semua hanya masalah
sederhana yang kita dibebaskan untuk memilihnya, dan kita mampu mengambil yang terbaik jika mau, meski dengan
cara menjauh sesuka apapun kita dengan hal itu. Karena, katanya, orang dewasa itu lebih memilih
yang bermanfaat bagi dirinya meski hanya sedikit saja. ^^
Terakhir, -katanya lagi-, semua itu hanya masalah Nak atau Tak Nak. Kalau Nak seribu Daya, kalau tak nah sejuta Dalih. kalau kita mau pasti banyak cara, tapi kalau tak mau biasanya banyak wacana. All is just your choice, gaes... (maapkan kalau nulisnya salah :D )
***
Tulisan ini sama sekali tak bermaksud menggurui, hanya ingin
berbagi. Karena faktanya sayapun masih banyak melanggar dari apa yang saya tau
itu baik, tapi yahh setidaknya saya ada usaha untuk memperbaikinya. Hehe…
Sambil dengerin murotal menjelang magribnya Masjid
@UlilAlbabUii
-Aez--
0 komentar:
Posting Komentar