Sedikit ‘beruntung’
angkatan saya masuk disaat kurikulum baru lahir. Setidaknya Dosen jadi lebih mudah memberikan tugas buat kami-kami untuk ‘mengobrak-abrik’ kurikulum ini. Kritisi,
analisis, perbaiki, latih dan banyak lagi perintah yang sumbernya dari baby kurikulum tersebut. Selamatlah mereka yang telah hadir sebelum angkatan kami.
*lap keringat*
…
Setidaknya dinegri
ini ada tiga masalah utama dari pendidikan yang katanya sudah jor-joran dalam
pembiayaan itu. Dari pendidikan yang belum tepat guna, pendidikan belum untuk
semua lah katanya, bahkan yang lebih bikin saya gregetan adalah fakta bahwa
‘pendidikan belum menyenangkan’ nangkring di trek pertama menjadi masalah
krusial di bangsa ini. What the… it’s clasic men. Dari dulu hingga saat
ini, masalahnya itu, itu dan masih itu lagi. Nggak terlalu oon kan kalau saya
tanya, kenapa?
Fakta diatasa saya
dapat dari kelas penjaminan mutu yang saya ambil smester ini. Pada saat
pembahasan berlangsung saya menemukan gambaran solusi dari tiap poin masalah
diatas yang terus blingsatan diotak saya tak sabar menanti pemateri
menyelesaikan pembahasan agar dapat dimuntahkan semua. Bila bisa digambarkan
mungkin jadi seperti ini.
1. Waktu
pemateri ngocehin kasus pertama: Pendidikan
belum menyenangkan
Oh men, gue tau banget poin ini. Tapi gue heran, dari dulu belum
nemu juga nih solusinya? Ah mesti kasian ade-ade gue yang masi sekolah
sekarang. Kesiksa.
Padahal asal tau aja, kenapa gue kadang ngrasa seperti itu jaman
sekolah dulu, karena gue GA TAU belajar materi itu buat apaan. Manfaatnya buat
idup gue selanjutnya apa? (maklum jaman itu masih labil, peduli apa sama
rumus-rumus fisika selain nanti Cuma ngeliat mereka nampang dikertas soal UN
atau SNMPTN?)
Yah.. gue ga tau ini bener atau enggak, hanya mungkin sepertinya
akan lain cerita kalau sebelumnya gue dikasih tau manfaat dari pelajaran itu.
Mungkin gue gak akan ‘setidaksuka’ itu. Tapi seenggaknya perasaan itu sedikit
tertolong setiap gue mandangin temen-temen yang udah pasti gak lanjut
kuliah. Soalnya dari situ gue masih bisa mohon-mohon sama otak gue buat tetap fokus
“ayo pahami, tar soal-soal masuk kuliahan beginian loh”.
Sebelumnya maaf, mungkin gue memang punya tipe otak yang selalu
berontak untuk hal-hal yang itu belum dapat lisensi ‘baik’ sama otak gue, hanya mungkin
tertolong sama kemampuan verbal gue yang minus. Jadi masih bisa tercover
‘anteng’. Ini juga sepertinya selalu jadi penyebab kenapa gue selalu tremor
sama yang namanya tes wawancara. Hohoho…ups, Ok, back to topik.
Gue contohin, alasan kenapa gue suka sama makul penjaminan mutu ini, soalnya gue BUTUH MATA KULIAH
INI. Salah satu alasannya adalah gue
butuh buat tau kenapa dulu gue gak suka
belajar dikelas, yaa ditambah alasan-alasan lain juga. Biar ntar kalau ada
siswa yang nasibnya gak jauh beda sama gue, gue bisa kasih solusi sama dia. Dan
kalian tau efek dari rasa BUTUH ini : gue gak pernah telat masuk kelas, semangat
buat duduk didepan dan gue selalu perhatiin setiap materi yang dibawain sama
dosen. Ada yang ga ngerti, nanya!
(FYI ini hal langka dalam kehidupan perkuliahan gue sodara-sodara). Gak peduli dosennya kayak apa, yang
pasti gue pingin nguasain makul ini entah gimana caranya.
See, Semua ini gue lakuin karena gue BUTUH. Hal yang jarang gue
rasain dulu. Karena dulu bagi gue SEKOLAH ITU ‘HANYA’ KEWAJIBAN. Kewajiban gue
untuk agama gue, untuk ortu gue; yang jumpalitan kerja rodi dipulau yang
gambarnya cuma sak uprit kalau lihat di peta, untuk bangsa gue; yang ga pingin
nambah-nambahin orang oon didalamnya. Ini salah kah? GAK!!! Itu udah bener, Cuma untuk diri gue, rasa-rasanya gue lupa
untuk nambahin rasa BUTUh tadi yang mungkin akan buat masa-masa sembilan taun
gue lebih bermakna.
Saat inipun gue jadi BUTUH dan ‘terpaksa’ suka sama semua makul.
Karena gue tau, gue BUTUH mereka semua untuk kehidupan gue kedepan karena gue
gak mau jadi guru yang berada dijajaran ‘blacklist’ murid-murid gue kelak.
Oh
iya, tetapi saat pembahasan poin ini kelas saya sepakat yang jadi masalah utama
adalah ketidak profesionalan guru. -Yang
mungkin sengaja diangkat karena konsen kami disitu-. Salah satu argumen
yang diberikan teman saya fokus pada guru-guru ‘tua’, yang menjadikan proses
pembelajaran monoton karena guru melakukan KBM sekedar rutunitas. Jadi mereka masuk kelas, say hello (lalu) mungkin basa-basi menanyakan “sampai mana materi
kita?” kemudian melanjutkan pelajaran sampai bel ‘kebebasan’ itu berbunyi.
Solusi kongkrit dari temen saya itu adalah buatlah improvisasi dan inovasi.
Bukankah ada begitu banyak metode active
learning yang sudah dipelajari?
Kembali keotak saya.
Kalau saya tetep keukeuh sama menimbulkan rasa BUTUH tadi, jika
memang guru yang menjadi masalah utama, tumbuhkanlah rasa BUTUH itu juga dalam
diri mereka.
Yap, mungkin menumbuhkan rasa BUTUH kepada para siswa membutuhkan
sistem yang terencana dalam pendidikan kita. Dikonsep sedemikian rupa sejak
awal, entah itu dari model pengajaran dan bla..bla.. tapi jika menunggu itu
terlalu sulit, usul konktrit dari saya adalah : ‘dalam dunia guru mengenal yang
namanya apersepsi, coba kita
maksimalkan bagian ini. Bukan hanya sekedar agar siswa-siswa itu ‘siap’ tetapi
juga memberikan setitik pemahaman bahwa pelajaran yang akan mereka pelajari ini
akan mereka BUTUHKAN untuk kelangsungan hidup mereka.
Sedang pesan otak saya untuk para pengajar saat itu : semoga rasa
BUTUH untuk mencerdaskan siswa-siswimu itu tumbuh dalam artian yang sebenarnya,
bukan hanya untuk mendapat gaji, agar mereka bisa masuk uneversitas A atau B
dan bla..bla…
Juga, setidaknya belajar dan terapkanlah metode-metode yang menarik
itu wahai para guru, bukan saja agar murid bahagia dan betah dikelasmu tetapi
juga untuk menyirami jiwamu yang
sebenarnya lelah dan jemu itu. Saya yakin para guru paham maksud
saya ini. ^^
2. Kemudian
pemateri melanjutkan membaca kasus kedua : Pendidikan
belum untuk semua
Pemateri
menyampaikan hal ini melihat fenomena bahwa pendidikan belum mencakup untuk
semua kalangan. Terutama melihat daerah-daerah terpencil yang pendidikannya
dikatakan minus.
Kemudian otak
saya teriak-teriak. Kenapa bisa seperti itu? Apa gunanya banyak pengangguran
guru di Indonesia ini? Bukannya dulu program bangun desa atau kembali kedesa sudah pernah ada? Bukannya tinggal
diterapkan? Oh iya ya, tapi siapa yang mau ngajar ditempat-tempat terpencil ya?
Gajinya dikit, jauh dari peradaban. Tugas pemerintah ini seharusnya! *map pemirsah,
otak saya emang minta digebukin ini agaknya, hoho* kenapa ini terjadi. Sekali lagi,
karena kita para guru belum ngrasa BUTUH untuk mencerdaskan bangsa ini dalam
artian yang sebenarnya titik
3. Masuk
kasus terakhir : Pendidikan belum tepat guna
Pemateri
mengatakan kalau pendidikan kita belum bias menyediakan outcome yang dibutuhkan pasar.
Ngintip
otak dikit : Wooiiii… kenapa kita melulu
yang harus mengikuti pasar? Hah? Kenapa bukan
kita yang menentukan arus pasar? Pantesan aja kita melulu jadi kacung. Kacung
yang tak berkualitas pula. Mana ini kerja pemerintah. System pendidikan masih
morat-marit gini.
S.T.O.P
Maafkan otak saya itu
ya, maklum dia duduk dikelas tanpa sebelumnya membaca materi yang ada jadi ya
ngaco seperti itu. Eunggg… tapi bukan itu poin yang ingin saya tekankan
disini. Meskipun saya belum membaca referensinya bahkan untuk mahasiswa yang tidak terlalu pintar (tapi cerdas
banget #plak. *doa loh ini)) seprti saya saja seketika itu langsung terfikirkan solusi yang bisa diambil (meski
validitasnnya masih dipertanyakan). Bukankah itu artinya mereka yang
lebih berpengalaman seharusnya sudah bisa menemukan ide-ide brilian untuk
mengantisipasinya? Tetapi pada kenyataannya sampai sekarang masalah ini masih
saja belum terselesaikan.
Sekali lagi gak
terlalu oon kan kalau saya Tanya, kenapa?
Oh iya, seiring
diskusi berlangsung apakah kemudian akhirnya saya meneriakkan apa yang ada
diotak saya tadi? TERNYATA TIDAK! Loh kenapa?
Tunggu
jawabannya di Part #2….
Hehe
-Ditulis disela nyelesein tugas kelompok bareng orang-orang, eunggg...mmm... keren deeeh *kepaksa* hehe...-