Mengumpat kalau bahasa asingnya adalah misuh-misuh. Biasanya terjadi saat kita hilang kontrol atau berada
dalam kondisi yang ‘terlalu’. Entah itu terlalu marah, terlalu kesal, terlalu
bingung, terlalu kaget atau seiring perkembangan zaman mengumpat juga digunakan
pada keadaan terlalu senang. Namun secara umum yang namanya mengumpat sering
dikonotasikan sebagai sesuatu yang negatif. Hal ini disebabkan karena aksi dari
mengumpat berupa perkataan atau ucapan dengan kosa kata yang cenderung tidak
enak didengar (Vivi, 2014). Hehe..
*skip*
Maaf pemirsah, menggunakan bahasa
formal itu sangat mengganggu bagi saya. Mpun nggih, kita seperti biasanya saja.
***
Nah, tapi kenapa pada entry ini
kamu malah ngajak anak orang buat misuh-misuh Vi?
Haissyyhhh bentar to, yuh dilanjut dulu....
Awalnya saya hanya melihat fenomena disekitar aja. Mengumpat a.k.a ‘misuh-misuh’
sebenarnya hanya kata yang saya pilih karena bingung mau pakai perumpamaan apa
yang tepat untuk istilah perkataan tidak sadar
yang sering tanpa sengaja keluar dari mulut kita. Setiap kita sering
lhoo melakukan ini. Hanya karena sifatnya tanpa sadar jadi yaa memang sering
tidak disadari.
Contohnya nih, kalau lagi gemes sama
kelakuan teman sering dengan nada bercanda kita ‘kelepasan’ bilang, “iiihhh
dasar kamu kampretos cokolatos” atau bla..bla.. Meski tidak serius tetap saja
itu adalah ucapan yang keluar dari mulut kita. Padahal katanya ucapan itu
adalah do’a. Padahal katanya ucapan itu adalah isi hati kita. Padahal katanya
ucapan merupakan cerminan akhlak. Padahal katanya lebih baik diam daripada
berucap yang sia-sia. Padahal katanya setiap ucapan akan dimintai pertanggung
jawaban. Padahal katanya akan jadi panjang banget jika mau ditulis
katanya-katanya yang banyak itu. Hehe...
Nah, padahal hampir sebagian besar dari kita tidak lepas dari ‘latahan’
itu. Untuk teman-teman dari jogja mungkin tidak asing dengan umpatan “asem”
atau “tobat” dan mungkin setiap daerah punya bahasa ‘misuh’ yang berbeda-beda.
Karena sifatnya kebiasaan dan tanpa sadar maka memang sedikit sulit untuk
dihilangkan. Bahkan mungkin hal ini sudah dianggap biasa dan dimaklumi oleh
sebagian kita. Nah, bukankah lebih indah jika latahan misuh-misuh itu kita
ganti dengan kata yang lebih bermanfaat. J
Hal-hal seperti ini meski terlihat sepele tetapi jika lebih dipahami memiliki
efek yang besar lhoo. Salah satunya untuk kalian para (calon) Ibu. ^..^v
Ketika nanti kita sudah memiliki (banyak) anak hal-hal semisal ‘mengumpat’
dan ‘misuh-misuh’ terkadang tak terhindari. Padahal ucapanmu adalah do’a
mustajab buibu. Apalagi do’a Ibu kan tanpa hijab. Inget yaa, anakmu kelak adalah ucapanmu saat ini. #catat
Mungkin banyak orang tua yang tidak sadar jika kenakalan anak mereka
sebenarnya berasal dari ‘doa-do’a’ mereka. Kok
bisa? Ketika si adik melakukan kesalahan misal, tanpa sadar si Ibu yang
sedang capek berucap “wee lhaa asem
tenan, bocal nakal ig”. Ndak tau kalau disebelahnya ada malaikat yang kaget
terus bilang “aammiin”. Dan jeng...jeng... kelak si Ibu sibuk nyalahin si anak
yang kelakuannya nakal gak ketulungan. Padahal?
Bukankah ini PR besar untuk kita terutama yang masih sering melafalkan
kata-kata ajaib itu? Nah sayapun demikian. Meski tidak memiliki kebiasaan
mengucapkan kata-kata khusus tapi saya takut lingkungan mempengaruhi saya. Mungkin
ketika diasrama seperti sekarang masih aman karena lingkungan sangat kondusif,
tetapi nanti ketika telah bermasyarakat dan saya tidak memiliki kebiasaan yang
kuat. Walaaa... bisa berabe toh. Jadi saya menyimpulkan : ciptakan lingkungan atau kamu yang diciptakan lingkungan.
Kita sadar bahwa diri kita terbentuk karena pengaruh lingkungan. Hal-hal
baik akan lebih mudah diterima atau diterapkan pabila lingkungan juga mendukung.
Karena itu saya iseng mencari wangsit bagaimana cara jika ingin membuat
kebiasaan baru pada lingkungan yang ada. Setelah bertapa disana-sini akhirnya saya
menemukan jawaban. Simpel ternyata, MULAILAH DARI DIRI SENDIRI. J
Awalnya cukup sulit juga lo. Soalnya memakai kata-kata yang lidah kita jarang
mengucapkan itu agak sedikit membutuhkan perjuangan. Hehe... awalnya kagok parah.
Tapi kalau saya nyerah disini artinya misi ini gagal. Ooo...tidak bisyaah...
Seiring berjalannya waktu saya bisa sedikit tersenyum. Ketika sedang
gemes akan sesuatu saya sudah bisa reflek mengucapkan kata-kata yang saya
biasakan untuk itu. Mmm... mungkin sedikit saya jelaskan, selain ucapan yang
diutamakan semisal Astagfirullah, Alhamdulillah, dsb. ucapan yang saya biasakan
disini lebih terfokus pada ucapan untuk orang lain. Karena biasanya yang dilakukan
orang-orang ketika sedang marah adalah mengabsen penghuni kebun binatang atau menggunakan
perkataan sarkas lainnya.
Mari sedikit mengingat ‘umpatan’ Ibu Imam Sudais sang Imam besar
Masjidil haram. Ketika Sudais kecil tak sengaja menaburkan pasir dijamuan yang
telah siap dihidangkan padahal para tamu sudah hampir datang. Ibu Sang Imam
yang terlanjur kesal akan kelakuan putranya reflek mengumpat “idzhab ja’alakallahu imaaman
lilharamain,” (Pergi kamu…! Biar kamu jadi imam di Haramain…!)”. MasyaAllaahh... Lihatlah efek dari umpatan itu...
Hmm... bukankah semua anak akan rindu dengan akhlak seorang Ibu yang
demikian? J
Salah seorang Mbak di asrama juga saya rasa cukup sukses dengan trendcenter kata-katanya yang selalu
menggunakan kata “Ya Allah” ketika mengeluh. Misal.. ‘Ya Allah, aku capek ya Allah, huu..hu..’ dsb. Yang kemudian
diikuti oleh seantero asrama. Gudjob Mba
Ja.like it!! karena apapun hendaknya memang kembali pada Allah ^^
Jadi Yuk kita ciptakan lingkungan dkita pada hal-hal yang baik. Demi
masa depan lho ini. :D Oh iya, yang tadi gak Cuma untuk (calon) Ibu aja ya
(Calon) Bapak juga sama, gak lucu dong kalau ntar si Adek keceplosan ‘ngumpat’
disekolah dan ditanya jawabnya “Ayah juga ngomong gitu buguru”. ( :’D )
***
For last, thanks to yang udah sering jadi bahan praktek diasrama. Maap kalau
jadi sering ‘teriak-teriak’ ; Nur’aini
solihaaahh atau eskriim solihaah...
Sedikit berharap semoga yang
lain segera ketularan. hohoo
-Calon ‘guru’ yang sedang belajar-
--Aez-
0 komentar:
Posting Komentar