Disetiap malam, sering aku terjaga. Kedua katup mata seakan memiliki masalah
pribadi yang menjadikannya enggan bersatu menutup pupil beserta keluarganya.
Jalinan rumit sarafpun menolak untuk patuh pada otak yang memerintahkan
menghentikan seluruh pekerjaan. Mencukupkan memori untuk hari ini.
Bila kelopak itu dipaksa untuk mencumbu sang pasangan akan
tertangkap bayangan landskap yang sama. Aku berdiri pada lapangan dengan carut
rumput yang tebal, menahan kakiku yang telanjang dari tanah yang dingin.
Disekelilingku, memagari lapangan rumput tadi adalah deretan rumah-rumah papan
yang berbaris membentuk persegi. Hamparan lagit biru menjulang mendominasi
bagian atas, melengkung, lalu kedua kakinya bertemu dengan garis cakrawala
jingga diujung kepala pohon kelapa yang berbaris bersaf-saf membentangkan kedua
lengannya melindungi rumah-rumah papan. Dibelakangku, tertutup rumah, melewati
satu dua pohon kelapa, setelah jalan setapak. Mengalir air kecoklatan dengan
bau gambut dan hiasan ilalang. Lalu seperti sebuah nada, bergantian suara-suara
riang menjadikan melodi yang tertahan. Jeritan senang, celotehan ceria, bunyi
celeguk air yang ditingkah anak-anak tuna busana, suara tendangan bola, dan
seribu paduan harmoni dari nada-nada permainan yang pernah terekam rumah keong
telingaku. Terungkap satu persatu, bergantian.
Namun dari semua memoar yang berkelebat itu disanalah fokusnya.
Pada satu titik dimana mataku menghadap. Tampak membisu sebuah rumah usang.
Didepannya ada satu beringin dengan daun yang lebat. Tampaknya angin padang
telah berhasil memaksanya menggugurkan daun-daun kuning pada halaman yang
tanahnya masih terukir semburat sapu lidi. Pohon pinang merah menghiasi sisi
yang lain. Tak seperti beringin yang tunggal, ia memiliki banyak saudara dalam
satu akarnya. Pemandangan ini
seperti memainkan metaforanya sendiri. Dua pohon itu seperti sedang berdialog,
memperbincangan kondisi si rumah papan dengan khusyuk, sementara si rumah papan
dengan tenang menghalalkan pergunjingan tentang dirinya. Namun semua terlihat
indah. Tetap mempesona.
Dua sejoli tadi kembali menemukan masalahnya, ia tersentak
terbuka. Menghilangkan pesona deja-fu yang kembali terhidupkan dalam studio
otakku. Semuanya seakan-akan hanyalah sebuah solilokui visual yang nampak dalam
‘film’ masa lalu. Rumput hijau, awan seputih kapas, langit biru, dan alunan
lagu alam hasil peraduan angin yang menggesek dedaunan yang merebakkan harmoni ganjil namun dirindukan. Lindap
dalam gelap.
***
Sejak saat itu kenanganmu terus memagut. Geming di antara nyata
dan fana.
Memoriku menjelajah silam
Lambaian yang tertangkap dari buritan
Wajah tegar pada tempat terujung didermaga yang dipaksakan
Tangis dibalik pintu
masuk bandara yang disembunyikan
Semua kurekam
Tanpa tanda, tanpa bahasa.
Segenap kerinduan ini bergemuruh.
Semoga malam memahami, menyatukan emulasi kehampaan yang kian
mendominasi.
Kubanting guling sejarah ini hingga menutupi seluruh satuan yang
berada pada kepalaku. Berharap dapat meredam semua bayang yang kembali berebut
untuk hadir. Sekaligus menahan bening yang telah siap meluncur dari liangnya.
Aku ingin pulang.
Hanya itu....
Inspiring (SK)
-Tulisan ini sudah pernah terbit dilapak ini dengan judul yang sama. Enjoy it~
~Aez~