"...kesederhanaanmu menjelaskan segalanya..." |
20 menit lagi bis baru
berangkat, kutahu setelah untuk kesekian kali aku melihat jam dari arloji yang
tak pernah lepas melingkar dari pergelangan tanganku. Kulepaskan ransel navyku
yang hari ini cukup gendut karena berisi
bahan praktikum sehingga membuat pundakku pegal dan kuletakkan begitu saja dilantai.
Sebenarnya aku
cukup tertolong dengan adanya bus ini. Pak
Karta, sang sopir bus, mulai mengoperasikan bus milik juragannya itu selalu
tepat pukul 6.30. Uniknya, karena sebenarnya tempat aku menunggu saat ini
bukanlah stanplat ataupun terminal yang lazim digunakan untuk ngetem. Namun hanya
lahan kosong ditepi jalan yang sedikit lebar dan biasa digunakan para pedagang
makanan saat sore hingga malam untuk membuka lapaknya.
Dikarenakan Pak Karta
setiap akan membawa bus itu keterminal untuk memulai aktifitasnya akan melewati
kampus tempatku kuliah dan beberapa tempat lain maka aku bersama penumpang ‘gelap’
tetap lainnya memanfaatkan hal ini. Lumayan daripada harus berjalan lebih jauh
untuk menunggu bis dan biasanya untuk jalur kampusku belum ada yang narik
sepagi itu. Untunglah Pak Karta tak pernah keberatan kami-kami menaiki bisnya meski
diluar jam dinasnya yang baru dimulainya pukul 07.00 dan itupun harus lewat
terminal.
“Udah lama Bro” satu
suara diiringi tepukan pelan dipundak mengagetkanku.
“ Eh, baru, nah lo tumben
baru dateng?” jawabku tergagap sambil menoleh pada sipemilik suara.
“Kagak, gue udah dari
tadi. Biasa nongkrong dulu diwarung Lek Sardi” Sembari menurunkan kursi panjang yang
ditata rapi diatas meja Yudi menjawab pertanyaanku. Aku membantunya membenahi
kursi yang biasa dipakai untuk duduk pelanggan warung yang aku pakai untuk
menunggu ini. Setelah itu aku duduk disampingnya dan mengangkat ranselku dari
lantai dan kutaruh disebelahku.
“Halo”
Kulihat Yudi mengangkat
panggilan dari ponselnya sambil mengisyaratkan “permisi” dengan tangannya
padaku. Aku mengangguk.
“Ya, lo kesini aja,
cepetan tapi. Bentar lagi berangkat nih”
…
“Oke, gue ama Rayi
nongkrong ditempat penyetan biasa buka”
…
“Yooi”
Kulihat Yudi menutup
pembicaraan
“Si Nando, katanya dia
mau ikutan kita naik Bis”
“Nando anak Gang Lima?”
tanyaku memastikan
“Iya, tumben banget kan
tuh anak”
Lima menit berselang
terlihat sebuah motor mendekati kami. Ternyata Nando diantar temannya yang
kutahu juga penghuni gang lima. Ia melambai lalu turun dan berjalan mendekati
kami dengan kaki sedikit pincang.
“Tumben Lo?” sapa Yudi
Aku menggeser dudukku
untuk berbagi kursi dengannya.
“Mobil gue lagi rusak. Padahal
kaki gue masih sakit banget”
“Nah kenapa emang sama
kaki lo?”
“Eh lu gak tau, kemarin
gue kan ikutan ekspedisi Troja”
“Heee? Serius”
sambungku. Telingaku langsung berdiri ketika mendengar kata Troja”
“Iya. Kemarin gue ikut.
Gila… hamper mati lemas gue. Lo tau, medan yang diambil. Beuh… parrah…”
ceritanya dengan gayanya yang khas
“Disana kita gak
dibiarin istirahat lebih dari 15 menit. Itu pula kalau udah jalan kurang lebih
dari 2 jam tanpa henti. Dan lo tau kan kalau ekspedisi ini makan waktu 2 hari 2
malam. Kita bener-bener diforsir. Mana panitia Cuma ngijinin tidur bentar lagi”
tambahnya memelas.
Aku tau, Ekspedisi Troja
ini memang konsep dasarnya adalah hiking.
Bahkan akupun cukup tertarik waktu itu bila tak memikirkan biaya pendaftaran
yang cukup… ehm.
“Nih kaki gue, pulang
dari sono berasa gak bisa digerakin. Pegel-pegel. Kemarin sih gue udah manggil
tukang pijet. Tapi kayanya gak ngefek deh. Pegel bener” tambahnya sambil
memukul-mukul pahanya pelan.
“Ntar kalau masih belum
baikan juga gue udah minta ama Bapak Kos Gue buat nyariin tukang pijit yang
lebih joss”
Kulihat Yudi mengkode
dengan matanya. Pertanda ia tidak berminat mendengarkan ocehan Nando yang
selalu khas. Lalu menyumpal
telinganya dengan headsed dan asyik
dengan hpnya.
“Ah, coba deh lu ikut. Palingan
juga lu udah tepar separuh jalan kayak yang lain. Terus diangkut deh pake mobil”
lanjutnya.
Aku mengernyit. Belum sempat
aku menimpali kalimat Nando kulihat Pak Karta melambai kearah kami pertanda ia
akan segera berangkat. Aku dan Yudi bergegas berdiri. Nando mengikuti.
“Eh pelan-pelan kali,
badan gue masih sakit nih” Kata Nando saat Yudi tergesa hendak mengembalikan
kursi pada tempatnya. Ia pura-pura tak mendengar. Setelah itu ia setengah
berlari ketika dilihatnya Nina, gadis ayu semampai yang sama-sama memanfaatkan jasa
Bis ini melintas didepan sana. Melupakan kami tentu saja.
Akupun bergegas, karena
pagi ini aku juga ingin dapat tempat duduk. Tasku akan sangat merepotkan bila
harus berdiri seperti biasanya. Karena nanti didalam bis ada para simbah yang
akan berjualan dipasar dan secara etika Indonesia harus lebih diutamakan untuk
duduk. Ditambah bis ini sebenarnya bukan bis besar, hanya bis angkutan pada
umumnya yang hanya mampu menampung sekitar 20 orang. Dan itu nantinya kami akan
ditumpuk bersama dagangan para simbah tadi yang begitu banyaknya. Dengan jarak
antara dimana aku menunggu menuju bis lumayan jauh, bila tidak segera akan
kalah cepat dengan yang menunggu hanya disekitar bis. Namun baru saja hendak
berjalan tiba-tiba tangan Nando memegang pundakku.
“eh bantuin gue, kaki
gue masih sakit nih”
Aku tak menjawab, hanya
membiarkannya menjadikan pundakku sebagai tumpuannya saat berjalan.
“Serius deh kalau lo
ikut, gue yakin lo gak bakal bisa bangun. Untung gue udah biasa beginian”
cerocosnya sambil berjalan
Aku pura-pura tak
dengar.
Ketika sampai didepan pintu
bus tiba-tiba ponsel Nando berbunyi.
“Eh gue duluan ya, lo
bisa naik sendiri kan? Tanyaku
Nando tak menjawab dan
telah sibuk dengan orang diseberang ponselnya.
Tau tak dipedulikan aku
langsung melompat kedalam bus. Ah syukurlah, masih ada satu tempat dibelakang
supir yang kosong. Meski hanya satu kursi dan tempatnya lumayan sempit tapi tak
apalah, yang penting bisa duduk. Tak sengaja saat hendak duduk kulihat
seseorang yang sedang tertidur duduk diseberang kursiku. Meskipun wajahnya ditutupi
topi tapi aku kenal sosok itu. Bang Nala.
Kulihat Nando naik lalu
melihat sekitar. Aku yakin dia sedang mencari tempat duduk. Lalu berjalan
kebelakang dengan gaya yang menurutku sedikit ‘lebay’. Pegal karena hiking, seberapa sih.
“Eh Yud, lu berdiri
dong” kulihat Nando menghampiri Yudi yang telah duduk di singgasananya. Kusebut
singgasana karena setiap pagi Yudi tak pernah merubah posisi duduknya dari
tempat itu, hal itu dilakukan agar ia puas memperhatikan Nina yang juga tak
pernah merubah posisi duduknya. Tepat satu baris didepan kursi yang berseberangan
dimana Yudi duduk.Hebatnya sejak saat itu hingga hari ini, belum ada kemajuan
yang signifikan dari aktifitas Yudi selain memperhatikan Nina. Bahkan menegurpun
belum pernah. Padahal ia adalah preman kampus. Benar kata orang kadang cinta memang membuat
orang tak rasional.
“Ah lo, berdiri aja
kek, siapa suruh telat”
Nando pergi demi
dilihatnya wajah Yudi yang memang terkenal garang dan mengingat tabiatnya yang khas
Jakarta. Dan feelingku mengatakan setelah itu ia akan menuju kursiku.
“Rayi”
Aku pura-pura tak
mendengar.
“Rayi, gue duduk
ditempat lo” nadanya sedikit tidak sopan mungkin diakibatkan kesal pada Yudi.
“Eh apa?” jawabku
pura-pura bego. Jujur akupun sedang tidak berminat untuk berdiri.
“Gue mau duduk disitu. Lo
tau kan kaki gue lagi sakit. Lo ngalah kek”
Aku masih malas-malasan
untuk bangkit. Namun tetap kugerak-gerakkan ransel gendut dipangkuanku seperti
ingin bersiap berdiri.
“Bisa cepetan gak sih”
tambahnya.
“Kamu mau duduk?”
tiba-tiba saja Bang Nala sudah menyambung dari seberang lalu berdiri dan
mempersilakan Nando untuk mengambil tempatnya.
“Nah gitu dong, makasih
bro. mereka gak tau sih gimana sakitnya ikut hiking” sambutnya sambil
membanting dirinya dikursi Bang Nala.
Bang Nala hanya
tersenyum. Lalu ia berdiri disebelahku yang memang biasa dipakai untuk mereka
yang tak mendapat kursi karena disana ada besi yang berfungsi untuk
berpegangan. Ia membenahi jumper dan ransl gunung yang ia kenakan. Saat itu kulihat
pula Nando telah memasang earphone dan
sibuk dengan BB nya. Ck, sombong
sekali anak ini.
Akhirnya bispun
berjalan.
“Kok baru kelihatan
Bang?” sapaku membuka percakapan.
“Biasa, ada urusan
sedikit” jawabnya singkat sambil tersenyum.
Kuturunkan ransel dari
pangkuanku karena kursi yang kududuki memang cukup sempit bila harus ditambahi
barang. Kuletakkan dilantai bis. Saat itu aku melihat ada sesuatu yang ganjil.
“Loh Bang, kakinya
kenapa?”
“Oh, ini” Jawab Bang
Nala tergagap sambil menunjukkan kakinya yang dibalut perban.
“Iya, kenapa Bang?”
“Terkilir, dikit aja”
“Kok bisa? Emang Abang
ngapain?”
“Mmm.. Biasa” katanya
sambil tersenyum penuh arti
Aku kenal makna
seringai itu
“Hah? Bang… serius…
dimana Bang?” Tiba-tiba aku langsung antusias.
Ia mendekatkan
kepalanya. “Ssssttt…. Mahameru, masih fresh baru sampe jogja tadi malam” Dengan berbisik ia
memberitahu diiringi senyumnya yang ramah.
Tanpa sadar mulutku membulat.
Kulihat ia tersenyum dan mengalihkan pandangannya keluar jendela.
Aku jadi tau kenapa
Bang Nala pagi-pagi sudah tertidur. Dan karena aku tak melihat kedatangannya
waktu ditempat menunggu tadi pastilah ia telah jauh lebih dulu datang dariku. Biasanya
itu ia lakukan bila ia memang benar-benar butuh tidur. Kutahu dari obrolan kami
sebelumnya. Katanya biar fair, jadi datang
pagi dan tidak perlu rebutan. Terutama saat ia harus wayangan mengerjakan
tugas. Meskipun seringkali tetap harus mengalah pada simbah-simbah bila
kebetulan penumpangnya banyak.
Hari ini pastilah ia sengaja
datang lebih pagi, karena bila ia baru sampai jogja malam tadi, tentulah pagi
ini rasa lelahnya luar biasa. Karena membayangkan perjalanan Bang Nala tak sadar
aku melemparkan pandangan sinis pada sosok yang kini masih larut dengan BBnya
dikursi yang diduduki Bang Nala tadi.
Aku bersiap berdiri untuk memberikan kursiku, namun gerakanku terbaca oleng Bang Nala.
"Udah, nyantai aja. dienakin duduknya" ucapnya sambil menekan pundakku untuk kembali duduk
Aku terperanjat dan bila dibandingkan Ekspedisi
Troja yang kubilang tak lebih dari ekspedisi manja yang mahal dengan makan dan
jaminan kesehatan yang ditanggung panitia. Bahkan bila boleh sedikit sombong,
capek yang didapat dari ekspedisi itu tidak ada setengah dari capeknya nanjak
semeru. Belum lagi perbandingan bobot beban yang harus digendong selama
pejalanan. Ahh… jauh.
Namun lihatlah kedua
orang tadi. Betapa berbedanya. Jelas aku paham bagaimana rasanya ‘sakit kaki’
yang dimaksud Nando tadi. Karena aku telah merasakannya dari beberapa kali aku
naik turun gunung. Untung tadi aku tidak kelepasan saat ia mengataiku ‘tak
berpengalaman’.
Aku menjadi belajar
banyak hal pagi ini. Betapa sebenarnya merasa ‘yang paling’ akan membuat kita
tidak bijak. Karena mungkin, lawanmu berbicara sudah mengalami hal berkali-kali
lipat yang jauh lebih berat.
“Eh duluan ya”
tiba-tiba saja Bang Nala mengagetkanku.
“Turun sini Bang?
“Iya ada perlu bentar”
katanya sambil melangkah kepintu bus dengan kaki tertatih (yang tidak
dibuat-buat tentu saja). Ia lalu menoleh dan tersenyum sebelum melompat turun
dari bus yang telah sempurna berhenti. Kubalas dengan anggukan.
Bus kembali bergerak. Aku
kembali teringat Bang Nala. Mengesankan. Itulah kenapa aku selalu tertarik
dengan orang-orang seperti Bang Nala. Tertarik dalam arti kepribadian tentu
saja. kecuali bila yang kau maksud adalah seorang wanita, maka aku punya
jawaban yang berbeda.
Diantara goyangan bus
yang terus bergerak mengikuti jalanan yang tak rata aku menyandarkan kepala
sambil memejamkan mata, lalu seperti biasa selalu dan segera, dalam bayang akan
hadir adalah wajah dengan senyum yang sama. Ah, aku jadi tak sabar ingin sampai
kekampus secepatnya.
______________________________________________
Saya sadar kalau saya benar-benar ‘kacau’ untuk
sesuatu yang disebut cerpen atau sejenisnya. -..-
Tapi kalau tidak dimulai kapan bisanya, iya toh?. Semoga maklum.
~Aez~