:a: :b: :c: :d: :e: :f: :g: :h: :i: :j: :k: :l: :m: :n: :o: :p: :q: :r: :s: :t: :u: :v: :w: :x: :y: :z: :1: :2: :3: :4: :5: :6: :7: :8: :9: :10: :11: :12: :13: :14:

Welcome In my blog

"Kata-kata bisa mengobati atau melukai, memberikan harapan atau merampasnya"

Aez Quote

Not trial and error but trial and learn

Total Tayangan Halaman

Lokinfo

Translate

Tag Cloud

Entry Populer

Selasa, 28 Mei 2013

Sora


"...kesederhanaanmu menjelaskan segalanya..."

20 menit lagi bis baru berangkat, kutahu setelah untuk kesekian kali aku melihat jam dari arloji yang tak pernah lepas melingkar dari pergelangan tanganku. Kulepaskan ransel navyku yang hari ini cukup gendut karena  berisi bahan praktikum sehingga membuat pundakku pegal dan kuletakkan begitu saja dilantai.

Sebenarnya aku cukup  tertolong dengan adanya bus ini. Pak Karta, sang sopir bus, mulai mengoperasikan bus milik juragannya itu selalu tepat pukul 6.30. Uniknya, karena sebenarnya tempat aku menunggu saat ini bukanlah stanplat ataupun terminal yang lazim digunakan untuk ngetem. Namun hanya lahan kosong ditepi jalan yang sedikit lebar dan biasa digunakan para pedagang makanan saat sore hingga malam untuk membuka lapaknya.

Dikarenakan Pak Karta setiap akan membawa bus itu keterminal untuk memulai aktifitasnya akan melewati kampus tempatku kuliah dan beberapa tempat lain maka aku bersama penumpang ‘gelap’ tetap lainnya memanfaatkan hal ini. Lumayan daripada harus berjalan lebih jauh untuk menunggu bis dan biasanya untuk jalur kampusku belum ada yang narik sepagi itu. Untunglah Pak Karta tak pernah keberatan kami-kami menaiki bisnya meski diluar jam dinasnya yang baru dimulainya pukul 07.00 dan itupun harus lewat terminal.

“Udah lama Bro” satu suara diiringi tepukan pelan dipundak mengagetkanku.

“ Eh, baru, nah lo tumben baru dateng?” jawabku tergagap sambil menoleh pada sipemilik suara.

“Kagak, gue udah dari tadi. Biasa nongkrong dulu diwarung Lek Sardi” Sembari menurunkan kursi panjang yang ditata rapi diatas meja Yudi menjawab pertanyaanku. Aku membantunya membenahi kursi yang biasa dipakai untuk duduk pelanggan warung yang aku pakai untuk menunggu ini. Setelah itu aku duduk disampingnya dan mengangkat ranselku dari lantai dan kutaruh disebelahku.

“Halo”

Kulihat Yudi mengangkat panggilan dari ponselnya sambil mengisyaratkan “permisi” dengan tangannya padaku. Aku mengangguk.

“Ya, lo kesini aja, cepetan tapi. Bentar lagi berangkat nih”
“Oke, gue ama Rayi nongkrong ditempat penyetan biasa buka”
“Yooi”
Kulihat Yudi menutup pembicaraan

“Si Nando, katanya dia mau ikutan kita naik Bis”

“Nando anak Gang Lima?” tanyaku memastikan

“Iya, tumben banget kan tuh anak”

Lima menit berselang terlihat sebuah motor mendekati kami. Ternyata Nando diantar temannya yang kutahu juga penghuni gang lima. Ia melambai lalu turun dan berjalan mendekati kami dengan kaki sedikit pincang.

“Tumben Lo?” sapa Yudi

Aku menggeser dudukku untuk berbagi kursi dengannya.

“Mobil gue lagi rusak. Padahal kaki gue masih sakit banget”

“Nah kenapa emang sama kaki lo?”

“Eh lu gak tau, kemarin gue kan ikutan ekspedisi  Troja”

“Heee? Serius” sambungku. Telingaku langsung berdiri ketika mendengar kata Troja”

“Iya. Kemarin gue ikut. Gila… hamper mati lemas gue. Lo tau, medan yang diambil. Beuh… parrah…” ceritanya dengan gayanya yang khas

“Disana kita gak dibiarin istirahat lebih dari 15 menit. Itu pula kalau udah jalan kurang lebih dari 2 jam tanpa henti. Dan lo tau kan kalau ekspedisi ini makan waktu 2 hari 2 malam. Kita bener-bener diforsir. Mana panitia Cuma ngijinin tidur bentar lagi” tambahnya memelas.

Aku tau, Ekspedisi Troja ini memang konsep dasarnya adalah hiking. Bahkan akupun cukup tertarik waktu itu bila tak memikirkan biaya pendaftaran yang cukup… ehm.

“Nih kaki gue, pulang dari sono berasa gak bisa digerakin. Pegel-pegel. Kemarin sih gue udah manggil tukang pijet. Tapi kayanya gak ngefek deh. Pegel bener” tambahnya sambil memukul-mukul pahanya pelan.

“Ntar kalau masih belum baikan juga gue udah minta ama Bapak Kos Gue buat nyariin tukang pijit yang lebih joss”

Kulihat Yudi mengkode dengan matanya. Pertanda ia tidak berminat mendengarkan ocehan Nando yang selalu khas. Lalu menyumpal telinganya dengan headsed dan asyik dengan hpnya.

“Ah, coba deh lu ikut. Palingan juga lu udah tepar separuh jalan kayak yang lain. Terus diangkut deh pake mobil” lanjutnya.

Aku mengernyit. Belum sempat aku menimpali kalimat Nando kulihat Pak Karta melambai kearah kami pertanda ia akan segera berangkat. Aku dan Yudi bergegas berdiri. Nando mengikuti.

“Eh pelan-pelan kali, badan gue masih sakit nih” Kata Nando saat Yudi tergesa hendak mengembalikan kursi pada tempatnya. Ia pura-pura tak mendengar. Setelah itu ia setengah berlari ketika dilihatnya Nina, gadis ayu semampai yang sama-sama memanfaatkan jasa Bis ini melintas didepan sana. Melupakan kami tentu saja.

Akupun bergegas, karena pagi ini aku juga ingin dapat tempat duduk. Tasku akan sangat merepotkan bila harus berdiri seperti biasanya. Karena nanti didalam bis ada para simbah yang akan berjualan dipasar dan secara etika Indonesia harus lebih diutamakan untuk duduk. Ditambah bis ini sebenarnya bukan bis besar, hanya bis angkutan pada umumnya yang hanya mampu menampung sekitar 20 orang. Dan itu nantinya kami akan ditumpuk bersama dagangan para simbah tadi yang begitu banyaknya. Dengan jarak antara dimana aku menunggu menuju bis lumayan jauh, bila tidak segera akan kalah cepat dengan yang menunggu hanya disekitar bis. Namun baru saja hendak berjalan tiba-tiba tangan Nando memegang pundakku.

“eh bantuin gue, kaki gue masih sakit nih”

Aku tak menjawab, hanya membiarkannya menjadikan pundakku sebagai tumpuannya saat berjalan.

“Serius deh kalau lo ikut, gue yakin lo gak bakal bisa bangun. Untung gue udah biasa beginian” cerocosnya sambil berjalan

Aku pura-pura tak dengar.

Ketika sampai didepan pintu bus tiba-tiba ponsel Nando berbunyi.

“Eh gue duluan ya, lo bisa naik sendiri kan? Tanyaku

Nando tak menjawab dan telah sibuk dengan orang diseberang ponselnya.

Tau tak dipedulikan aku langsung melompat kedalam bus. Ah syukurlah, masih ada satu tempat dibelakang supir yang kosong. Meski hanya satu kursi dan tempatnya lumayan sempit tapi tak apalah, yang penting bisa duduk. Tak sengaja saat hendak duduk kulihat seseorang yang sedang tertidur duduk diseberang kursiku. Meskipun wajahnya ditutupi topi tapi aku kenal sosok itu. Bang Nala.

Kulihat Nando naik lalu melihat sekitar. Aku yakin dia sedang mencari tempat duduk. Lalu berjalan kebelakang dengan gaya yang menurutku sedikit ‘lebay’. Pegal karena hiking, seberapa sih.

“Eh Yud, lu berdiri dong” kulihat Nando menghampiri Yudi yang telah duduk di singgasananya. Kusebut singgasana karena setiap pagi Yudi tak pernah merubah posisi duduknya dari tempat itu, hal itu dilakukan agar ia puas memperhatikan Nina yang juga tak pernah merubah posisi duduknya. Tepat satu baris didepan kursi yang berseberangan dimana Yudi duduk.Hebatnya sejak saat itu hingga hari ini, belum ada kemajuan yang signifikan dari aktifitas Yudi selain memperhatikan Nina. Bahkan menegurpun belum pernah. Padahal ia adalah preman kampus. Benar kata orang kadang cinta memang membuat orang tak rasional.

“Ah lo, berdiri aja kek, siapa suruh telat”

Nando pergi demi dilihatnya wajah Yudi yang memang terkenal garang dan mengingat tabiatnya yang khas Jakarta. Dan feelingku mengatakan setelah itu ia akan menuju kursiku.

“Rayi”

Aku pura-pura tak mendengar.

“Rayi, gue duduk ditempat lo” nadanya sedikit tidak sopan mungkin diakibatkan kesal pada Yudi.

“Eh apa?” jawabku pura-pura bego. Jujur akupun sedang tidak berminat untuk berdiri.

“Gue mau duduk disitu. Lo tau kan kaki gue lagi sakit. Lo ngalah kek”

Aku masih malas-malasan untuk bangkit. Namun tetap kugerak-gerakkan ransel gendut dipangkuanku seperti ingin bersiap berdiri.

“Bisa cepetan gak sih” tambahnya.

“Kamu mau duduk?” tiba-tiba saja Bang Nala sudah menyambung dari seberang lalu berdiri dan mempersilakan Nando untuk mengambil tempatnya.

“Nah gitu dong, makasih bro. mereka gak tau sih gimana sakitnya ikut hiking” sambutnya sambil membanting dirinya dikursi Bang Nala.

Bang Nala hanya tersenyum. Lalu ia berdiri disebelahku yang memang biasa dipakai untuk mereka yang tak mendapat kursi karena disana ada besi yang berfungsi untuk berpegangan. Ia membenahi jumper dan ransl gunung yang ia kenakan. Saat itu kulihat pula Nando telah memasang earphone dan sibuk dengan BB nya. Ck, sombong sekali anak ini.

Akhirnya bispun berjalan.

“Kok baru kelihatan Bang?” sapaku membuka percakapan.

“Biasa, ada urusan sedikit” jawabnya singkat sambil tersenyum.

Kuturunkan ransel dari pangkuanku karena kursi yang kududuki memang cukup sempit bila harus ditambahi barang. Kuletakkan dilantai bis. Saat itu aku melihat ada sesuatu yang ganjil.

“Loh Bang, kakinya kenapa?”

“Oh, ini” Jawab Bang Nala tergagap sambil menunjukkan kakinya yang dibalut perban.

“Iya, kenapa Bang?”

“Terkilir, dikit aja”

“Kok bisa? Emang Abang ngapain?”

“Mmm.. Biasa” katanya sambil tersenyum penuh arti

Aku kenal makna seringai itu

“Hah? Bang… serius… dimana Bang?” Tiba-tiba aku langsung antusias.

Ia mendekatkan kepalanya. “Ssssttt…. Mahameru, masih fresh baru sampe jogja tadi malam” Dengan berbisik ia memberitahu diiringi senyumnya yang ramah.

Tanpa sadar mulutku membulat. Kulihat ia tersenyum dan mengalihkan pandangannya keluar jendela.

Aku jadi tau kenapa Bang Nala pagi-pagi sudah tertidur. Dan karena aku tak melihat kedatangannya waktu ditempat menunggu tadi pastilah ia telah jauh lebih dulu datang dariku. Biasanya itu ia lakukan bila ia memang benar-benar butuh tidur. Kutahu dari obrolan kami sebelumnya. Katanya biar fair, jadi datang pagi dan tidak perlu rebutan. Terutama saat ia harus wayangan mengerjakan tugas. Meskipun seringkali tetap harus mengalah pada simbah-simbah bila kebetulan penumpangnya banyak.

Hari ini pastilah ia sengaja datang lebih pagi, karena bila ia baru sampai jogja malam tadi, tentulah pagi ini rasa lelahnya luar biasa. Karena membayangkan perjalanan Bang Nala tak sadar aku melemparkan pandangan sinis pada sosok yang kini masih larut dengan BBnya dikursi yang diduduki Bang Nala tadi.

Aku bersiap berdiri untuk memberikan kursiku, namun gerakanku terbaca oleng Bang Nala.

"Udah, nyantai aja. dienakin duduknya" ucapnya sambil menekan pundakku untuk kembali duduk

Aku terperanjat dan bila dibandingkan Ekspedisi Troja yang kubilang tak lebih dari ekspedisi manja yang mahal dengan makan dan jaminan kesehatan yang ditanggung panitia. Bahkan bila boleh sedikit sombong, capek yang didapat dari ekspedisi itu tidak ada setengah dari capeknya nanjak semeru. Belum lagi perbandingan bobot beban yang harus digendong selama pejalanan. Ahh… jauh.

Namun lihatlah kedua orang tadi. Betapa berbedanya. Jelas aku paham bagaimana rasanya ‘sakit kaki’ yang dimaksud Nando tadi. Karena aku telah merasakannya dari beberapa kali aku naik turun gunung. Untung tadi aku tidak kelepasan saat ia mengataiku ‘tak berpengalaman’.

Aku menjadi belajar banyak hal pagi ini. Betapa sebenarnya merasa ‘yang paling’ akan membuat kita tidak bijak. Karena mungkin, lawanmu berbicara sudah mengalami hal berkali-kali lipat yang jauh lebih berat.

“Eh duluan ya” tiba-tiba saja Bang Nala mengagetkanku.

“Turun sini Bang?

“Iya ada perlu bentar” katanya sambil melangkah kepintu bus dengan kaki tertatih (yang tidak dibuat-buat tentu saja). Ia lalu menoleh dan tersenyum sebelum melompat turun dari bus yang telah sempurna berhenti. Kubalas dengan anggukan.

Bus kembali bergerak. Aku kembali teringat Bang Nala. Mengesankan. Itulah kenapa aku selalu tertarik dengan orang-orang seperti Bang Nala. Tertarik dalam arti kepribadian tentu saja. kecuali bila yang kau maksud adalah seorang wanita, maka aku punya jawaban yang berbeda.

Diantara goyangan bus yang terus bergerak mengikuti jalanan yang tak rata aku menyandarkan kepala sambil memejamkan mata, lalu seperti biasa selalu dan segera, dalam bayang akan hadir adalah wajah dengan senyum yang sama. Ah, aku jadi tak sabar ingin sampai kekampus secepatnya.

______________________________________________

Saya sadar kalau saya benar-benar ‘kacau’ untuk sesuatu yang disebut cerpen atau sejenisnya. -..-

Tapi kalau tidak dimulai kapan bisanya, iya toh?. Semoga maklum.

~Aez~

Read more...
separador

Pulau Burung


Entah diapakan foto-foto ini. Asli mungut dari pictwitnya Bang Udi yang saya yakin juga bukan hasil jepretan dia. Orang masih betah sama onta gimana bisa ketemu laut -..-

Satu pesan saya, jangan tertipu kamera apapun alasannya. Tapi Yah… apapun itu enjoy

My little island. How I love much more…


Itu yang namanya pompong kelapa. seingat saya
Merah untuk wilayah 1
Pink untuk wilayah 2
Kuning untuk wilayah 3
Biru untuk wilayah 4

Daerah ini adalah wilayah industry. Dekat sama SMP saya.
Jangan heran kenapa banyak air begitu. Karena disana kanal itu ibaratnya adalah jalan aspal kalau dijogja

Jalan air ini disebut kanal. Kalau belum ngerti apa itu kanal gugling dewe kanah.
Jadi agak aneh kalau ada anak P.Burung yang ga ngerti renang. Karena air ada dimanamana


Meskipun ini full edit tapi saya berani bilang kalau langit disana sering awesome. Bahkan lebih dari yang seperti ini. Itu kenapa saya selalu suka sunset sama sunrise. Bikin kangen. :’)



Nah kalau tadi ada wilayah industry, maka yang bagian banyak pohon kelapa itu disebut wilyah perkebunan (kata saya). Karena isinya ya pohooooonn banyak banget.


Ini View Km 00 dimalam hari. Sekali lagi saya katakana. Jangan terlalu cepat menyimpulkan apa yang anda lihat digambar. Apalagi yang punya jago sotoshop . -..-
 
Pulau ini adalah kisah masa kecil saya. Saya bangga pernah menjadi bagian darinya, karena dari sana pula saya dibesarkan dengan cara yang 'sedikit' berbeda hingga dapat lebih bersyukur pada saat ini. ^^

My Lovely little Island. Pulau Burung, Indragiri Hilir, Riau

~Aez~
Read more...
separador
Diberdayakan oleh Blogger.

Salam ^__^

Foto saya
Jogjakarta Hadiningrat, Indonesia
Terkadang tulisan seperti diam, adalah pilihan terbaik disaat hati dan lidah lelah untuk berkata.. Welcome In My Abstract Mind... ^^

Categories

Followers