Mereka
yang mempuyai hati, tetapi tidak dipergunakan untuk memahami,
Mereka
mempunyai mata, tetapi tidak dipergunakan untuk melihat,
Dan
mereka mempunyai telinga, tapi tidak dipergunakannya untuk mendengar. Mereka
itu penaka binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah
orang-orang yang lalai.
Q.S
Al-A’raaf : 179
|
Bismillah |
Jika
hidup adalah sebuah fungsi waktu, bagi seorang mukmin nilai puncaknya harus
diraih dalam grafik diujung kanan. Kematian. Disanalah harus dicitakan sebuah
akhir setinggi-tingginya. Apapun yang kau
minta, mintalah pada Allah. Surgapun bertingkatan. Maka mintalah yang paling
tinggi. Firdaus. Maka dalam hal mati,
ambil pilihan tertinggi untuk menjadi cita dan rencana. Syahid. –perkataan
Ustadz Salim yang membuat saya merinding-
Suatu kepastian bahwa setiap yang
bernyawa akan mati. Maka dalam berjalan menuju itu kita diberikan pilihan untuk
bagaimana mengakhirinya. Akan terasa indah bila diri kita memiliki kesadaran
terhadap kepastian mengenai kematian.
Kesadaran membuat kita bisa
mempersiapkan diri dan semua kebutuhan untuk melalui samudra kehidupan ini.
Kesadaran adalah anugerah agar kita bisa memilih yang terbaik diantara
banyaknya pilihan itu, seoptimal kemampuan kita. Kesadaran membuat mata kian
terbuka, tubuh lebih ringan bergerak dan semua indra peka untuk merasakan berbagai
keindahan hidup ketika mereka para lalai hanya mengutuk, mengumpat, gelagapan dan
kesakitan dalam lautan nikmat Tuhan. Kenapa
manusia bisa begitu mudah bersyukur dan bersabar? Salah satu jawaban termudah
adalah karena ia sadar. Karena ia tidak lalai.-Ustadz Salim-
Ditangan kita digenggamkan banyak hal,
kita diberi kebebasan untuk memilih. Kita adalah penentu atas diri kita
sendiri. Bagaimana dengan takdir? Disebut takdir hanya pabila ia telah terjadi.
Karena selalu ada ruang diantara rangsangan dan tanggapan. Dan ruang itu berisi
pilihan-pilihan. Maka itulah gunanya misteri takdir. Agar kita memilih diantara
bermacam tawaran. Untuk menyusun cita dan rencana. Lalu bertindak dengan
prinsip, “Kita bisa lari dari takdir
Allah yang satu ke takdir Allah yang
lain, dengan takdir Allah pula” demikian tulis Ustadz Salim (lagi).
Bila kita tau bahwa kematian merupakan
suatu kepastian, dan kita dibebaskan memilih cara kita untuk bagaimana
menemuinya, sebagai orang yang sadar sudah seharusnya kita berfikir. Dan awal
terjernih yang bisa saya ambil dalam penafsirkannya adalah bagaimana menjalani
hidup ini dengan sebaik-baiknya. Dapat melihat dan membahagiakan orang lain
adalah suatu kebahagiaan tersendiri bagi saya. Diri kita memang berhak bahagia,
namun orang-orang disekitar kita lebih berhak untuk dibahagiakan. Prinsip hidup
saya dalam mengartikan –bagaimana menjalani hidup ini sebaik-baiknya- yang
ditentang habis-habisan oleh seseorang. Tapi bukankah hidup ini pilihan? Dan ini
pilihan saya so, Problem? *Pasang muka sesongong
mungkin* hoho.
Masih ingat argumen terkerasnya, bayangkan bila kebahagiaan yang ingin orang
berikan itu adalah untukmu, lalu dengan ‘tidak merasa bersalahnya’ kau berikan
kebahagiaan itu untuk orang yang kau pikir lebih butuh. Maksudmu memang baik,
tapi apakah tidak kau fikirkan sang pemberi bahagia tadi bagaimana perasaannya.
(Perkataan seseorang yang sudah diperhalus dan lebih ditata tentu saja :p).
Haiss... sudahlah, bukankah setiap pilihan selalu bergandengan dengan resiko? Dan
saya udah gede, oke. Saya tau apa yang saya lakukan atau setidaknya meski itu
salah saya udah bisa menentukan pilihan untuk diri saya sendiri! Hehe... ini
bukan berarti saya keras kepala yo, begini-begini saya juga punya prinsip yang
sudah jadi area pribadi. L *curhat karena ga terima dibilang
keras kepala. -..-9*.
Bila kita berkata tentang pilihan
lihatlah bagaimana tegasnya Habibah memilih berpisah dengan Tsabit atau
keridhaan Nailah mendampingi Utsman, semua adalah pilihan dengan resikonya
masing-masing. Namun yang menjadikannya indah adalah alasan dari kesemua
pilihan tersebut. Lillah... Lillah..
Lillah...Karena selalu ada ruang
diantara rangsangan dan tanggapan. Dan ruang itu berisi pilihan-pilihan. Maka
itulah gunanya misteri takdir. Agar kita memilih diantara bermacam tawaran.
Bila kau bertaya tentang kematian, tak
merindingkah membayangkan Zaid yang tanpa ragu melangkah kepadang Mut’ah meski
kematiannya telah tervoniskan, bagaimana Abdullah bin Rawahah tersenyum menemui
Rab-Nya dimedan perang atau Khalid yang menemui citanya meski ia wafat
diranjang. Tapi semua itu tercium wangi kisahnya hingga saat ini, karena Allah
memberikan mereka hadiah cita tertinggi, Syahid.
Saya sedang tergila-gila dengan
kisah-kisah para hero terdahulu. Bagaimana mereka mengjarkan keteguhan dalam
hidup. Bahwa hidup ini tak melulu “cuma kamu yang punya masalah yang (sok)
diberat-beratkan”. Bagaimana mengajarkan tersenyum saat tidak ada lagi alasan
untuk bahagia. Bagaimana bahwa hidup adalah pilihan yang detiknya tak kan
terulang, bagaimana bahagia tak selalu sebatas harap yang terkabulkan.
Kita yang memilih bagaimana diri kita
dikenang. Kita yang menentukan tersenyum atau cemberut pada orang-orang
disekitaran. Ditangan kita benci atau cinta dibunuh untuk membiarkan yang
lainnya tetap hidup, yang lalu pilihan itu akan semerbak melingkupi diri kita,
menjadikannya aura. Lihatlah mereka yang orang-orang nyaman berada diantaranya,
senang memandangnya, bergetar dengan ucapanya. Meski wajahnya tak begitu
memenuhi kriteria (hehe) namun semua menyukainya. Pikirkan darimana datangnya? Hati yang bening dan dipenuhi cinta yang
tulus (kata salah satu kakak senior yang saya setujui dengan empat jempol).
***
Saat saya bercerita tentang kematian
kenapa tanggapan teman-teman selalu sepaham, bergidik ngeri atau segera mencari
topik lain dan mengancam saya agar jangan lagi berbicara yang bukan-bukan. hehe.
Tapi bukankah sebaik-baik menginsyafi diri adalah dengan mengingat kematian? Karena
entah kenapa akhir-akhir ini saya seperti berada dalam labirin yang bertautan. Dimanapun,
menoleh, membaca, berdebat, diantara jeda waktu pengantar tidur, saat ritual
ludah pagi, rasa-rasanya semua seperti menisbatkan pada hal yang sama, baik itu
secara tersurat ataupun tersirat. Kematian. Meskipun entah apa maksudnya, tapi
bukankah indah sekali cara Allah dalam mengingatkan saya untuk jangan jadi anak
cengeng, meski awalnya cukup membuat gemeteran, hehe... Wallahu A’lam... ^^
Ah... tapi kenapa kematian selalu
dibuat seseram itu, bukankah bertemu pada pemilikMu merupakan suatu
kebahagiaan? Bukankah katanya Walal
akhirotu Khoirullaka minal Ulaa...?
***
Ingatan
kematian
Menjelma
ia pada senyum yang tak berkesudahan
Atau
air mata pada dosa yang membayang
Mengancam
pada kesah yang hendak terikrarkan
Merayu
pada pikiran baik tuk diunggulkan
Syukur
dan sabar dipaksa menjadi nafas bergantian
Mendendang
pada sayang yang tak harap imbalan
Meringan
ibadah atau pengutuk sendi yang melumpuh
Menjadikan
maaf tak memiliki waktu tunggu tuk diucapkan
Ingatan
kematian, ialah nyawa untuk menutup hari ini dengan sebaik-baik persembahan
Juga
menyaru pada satu kalimat penutup segala gundah yang tak berkesudahan
“Bukankah
katamu Lillah, Vi?”
~Aez~
|
Bukan bermaksud bikin ngeri-ngerian, tapi gak ngerti mau dipasang poto apa lagi. mmm... tapi setidaknya kata-katanya gak terlalu buruklaah, cukup mewakili. :D |
Larut Malam, Ruang Musyrifah Rusunawa
Diilhami penuh oleh buku-bukunya Ustadz
Salim, Sirah Nabawiyah dan kesadaran pada ujung mata kematian...