:a: :b: :c: :d: :e: :f: :g: :h: :i: :j: :k: :l: :m: :n: :o: :p: :q: :r: :s: :t: :u: :v: :w: :x: :y: :z: :1: :2: :3: :4: :5: :6: :7: :8: :9: :10: :11: :12: :13: :14:

Welcome In my blog

"Kata-kata bisa mengobati atau melukai, memberikan harapan atau merampasnya"

Aez Quote

Not trial and error but trial and learn

Total Tayangan Halaman

Lokinfo

Translate

Tag Cloud

Entry Populer

Selasa, 23 Desember 2014

Unlimited Love

Membaca seperti ini tak kan ada rasanya jika dibaca sambil lalu. Duduk yang baik, Tenangkan diri, tarik nafas, tahan…tahannn… lepaskan… #Puuuuttttt.
Selamat pencernaan anda lancar !!!
***

Saya menyebut coretan kali ini surat. Surat untuk Ibu saya tepatnya. Hal mainstream yang juga dilakukan sebagian orang diseluruh dunia. Tapi saya tak berniat membacakan isinya saat menelepon nanti, apalagi pergi ke kantor pos untuk kemudian meminta mengirimkannya ke pulau kecil kami. Tidak.

Surat ini tak dibuat untuk memberi tahu pada Ibu saya apa yang sedang saya rasakan. Besar kemungkinan dia sudah tau apa yang selama ini saya pendam.  Surat ini ditulis demi menguras isi kepala saya sendiri. Demi mengurangi rindu yang ada didada ini. Surat ini hanya sebagai tanda, kalau saya punya Ibu yang luar biasa. Mungkin biasa saja bagi yang lainnya. Tapi Ibu saya adalah orang yang tak kan tergantikan dengan apapun juga.


***

“Bila ada satu hal yang tak bisa kuungkapkan, mungkin itulah perasaan
-Aez--


Untuk Mama’ yang mestinya lupa kalau hari ini adalah hari Ibu…

Assalamualaikum Ma’…
Kemarin anakmu jadi juru sortir tak resmi disalah satu lomba ‘surat untuk Ibu’. Bagus-bagus isinya, bikin merinding dan mengharukan dibuatnya. Kebanyakan dari mereka mengawali surat dengan bertanya ‘Apa kabar’? ah terlalu retoris kalau akupun mengikut seperti itu, karena bukankah barusan Mama menelepon lalu bercerita sedang membuat pesanan, itu artinya kau sedang sehat-sehat saja. Iya kan?.

Taukah Ma, aku selalu berusaha jadi anak baik dan menjalani hidup seperti yang Tuhan suruh, biar Allah cinta sama aku dan Mama yang sudah melahirkanku. Lalu menukarnya dengan nikmat sehat yang tak habis-habis untuk Mama juga orang-orang yang Mama sayangi. Karena apalagi yang bisa membuatku tidur nyenyak malam ini selain mengetahui bahwa Mama baik-baik saja disana.

Tadi waktu mengecek  path isinya didominasi tentang Ibu, kebanyakan foto-foto mesra Ibu dan anak disaat momen bahagia mereka. Nyengir-nyengir basah Vivi lihatnya Ma. Jangan Tanya kenapa aku tak melakukan hal yang sama. Mama paling tahu tentang hal ini. Tapi tenang Ma, nanti kita balas mereka waktu Mama pulang saat wisuda. Kita selfie banyak-banyak dan aplot suka-suka. Plus tambahan caption ‘Rapel untuk satu, dua tiga, … enam tahun hari Ibu. *Rapel? Dipikir gaji*, yaa… namanya juga suka-suka. Iya kan Ma,? Hahaa



Mama,
Ingin sekali aku berterimaksih pada Kakek Martin Cooper yang sudah dengan cerdasnya menemukan benda bernama telepon genggam. Karena itu satu-satunya benda dimana aku masih bisa mendengar omelanmu atau kemudian kita dapat berbicara lama meski tanpa tema.

Benda yang mana darinya aku paham betapa sebenarnya kau selalu mengkhawatirkanku. Aku hanya bisa membantu dengan secepat mungkin mengangkat setiap namamu yang berkedip-kedip dilayar hapeku. Menepikan motor bila sedang diperjalanan. Menghentikan suapan bila sedang makan. Karena aku tau bagaimana cemasnya dirimu bila panggilan itu tak segera mendapat jawaban.

Makanya aku kadang tak habis fikir dengan mereka yang sering malas mengangkat telepon dari Mama mereka. Atau mengeluh karena dianggap masih seperti anak kecil yang selalu dipantau keadaannya. Padahal jika tau, masih banyak anak lain yang bersedia menggantikan posisi itu. Diomel tiap saat, bertemu tiap hari, disuruh-suruh tiap waktu. Ahh… bahagianya…


Aku paham Ma, bahkan sampai saat inipun dimatamu aku masih tetap anak kecilmu yang suka teledor ini itu kan. Terbukti pertanyaan sudah makan? sudah sholat? Atau tadi pagi sahur nggak? Menjadi mantra rutin yang selalu kau rapalkan setiap kita memulai pembicaraan. Semua selalu kutanggapi dengan tertawa terutama pertanyaan terakhir. Karena aku tau benar seberapa sakti omelanmu jika aku berkata ‘enggak’.

Tapi tenanglah Ma, aku sudah bisa menjaga diri. Bukankah Mama sendiri yang menasehatkan kalau aku harus bisa merawat diri sendiri saat jauh dari Mama. Nah, kini aku sudah terbiasa bangun subuh setiap hari. Mungkin memang tak untuk makan sahur seperti yang kau tanyakan.

Biasanya ada Mama yang cerewet dan begitu berisik memaksa untuk bangun dari tidurku yang katamu selalu seperti orang kena sirep. Susah bukan main. Tapi anehnya dengan jauh darimu justru sering aku tersentak bangun dengan sendirinya. Aku merasa seperti ada tangan halus yang mengelus pipi atau menggosok punggungku yang memaksa untuk terjaga. Padahal saat kubuka mata, yang ada hanya aku sendiri bersama subuh yang dingin. Ada yang hilang dari subuhku Ma. Sesak rasanya. Aku hanya bisa meredam dengan sujud-sujud panjang semoga Mama selalu disayang Allah disana.



Mama,
Vivi sekarang punya adik banyak sekali diasrama. Mereka semua luar biasa. Sebenarnya aku agak sedikit gengsi untuk mengenalkan mereka pada Mama suatu hari nanti. Takutnya Mama iseng jadi pingin ganti anak yang seperti mereka.  Haha… Aku tau itu hal paling konyol yang mungkin hanya ada dikepalaku. Tapi Ma, aku jujur untuk hal ini. Aku tak tau, mungkin karena aku ini pecemburu. Untuk itulah kenapa aku punya seleksi yang ketat untuk siapa saja yang boleh mengambil bagian dihatiku. Biarlah aku terkesan seperti es yang selalu beku. Aku Cuma tak ingin hati yang sebenarnya rapuh ini retak untuk hal yang tak perlu.

Oh iya Ma, adik-adik tadi sering sekali bercerita ini itu. Salah satunya bagaimana rindu mereka dengan Ibunya yang juga nun jauh disana. Dari rengekan mereka Vivi tau mereka tak main-main. Mana ada rindu yang main-main bila sudah dibarengi air mata. Setiap mereka menceritakan rindu itu aku sering kasihan dengan mereka Ma. Sudah berminggu bahkan berbulan-bulan mereka tak jumpa dengan ibu mereka. Mereka harus sabar menunggu libur lebaran atau waktu senggang yang sangat sedikit dari padatnya jadwal asrama. Vivi paham dengan semua rindu itu. Meski mereka terkadang menyangsikan dengan kalimat: Kalau Mbak Vivi enak, kalau ada apa-apa tinggal pulang. Kan rumahnya dekat. Ah Ma, kalau sudah di skak seperti itu aku bisa apa. Hahaha…



Tapi Ma, aku jadi belajar. Bahwa sebenarnya rindu yang meraksasa terkadang tak bersuara. Cinta yang murni  terkadang ada pada lembah yang sunyi. Mama mengajariku satu hal. Bila cinta berarti harus selalu bersama, harus selalu saling sapa atau penuh canda bagaimana menjelaskan tentang Akar dan daun yang tak pernah bertemu namun menghidupi atau matahari dan bumi yang tak mendekat untuk tak saling menyakiti?

Jarak berkuasa bukan untuk disalahkan apalagi dikasihani. Mereka hanya ingin ada jeda, supaya mereka punya makna. Adapun rasa bukan untuk diterka, jadi biarlah ia tetap indah sebagai sesuatu yang tak disangka. Suka tidak suka. Aku percaya bahwa jarak dicipta agar rindu tetap hidup dan tak pernah redup. Aku hanya perlu belajar untuk lebih sering mengucap namamu dalam doa. Benar begitu kan Ma?


Ma,
Hari ini adalah dimana orang memberikan kado spesialnya. Namun apalah, aku tak punya cukup uang untuk itu. Bahkan adapun untuk menyerahkannya aku ragu apakah mampu. Jangankan itu, memberikanmu kado ucapan selamat hari ibupun aku malu. Iya parah memang. Entahlah Ma, anakmu ini sedikit bermasalah dalam mengekspresikan cinta. Untunglah Tuhan mencipta aksara, satu-satunya tempat dimana cintaku bisa bersuara. Karena hanya dengan aksara aku bebas jatuh cinta tanpa interupsi. Maka tak heran dalam surat ini aku bisa berkisah sampai berlembar-lembar namun saat bercerita langsung denganmu aku hanya lebih banyak mendengar.


Ada yang Lucu saat Mama menelepon dan begitu cerewet menceritakan banyak hal. Sesekali memancing dengan berkisah si A yang sudah punya pacar atau si B yang sudah sering diantar si C. Kenapa Ma? Apa sebenarnya yang mau Mama tau? Mama takut anak nakalmu ini seperti itu atau Mama mau aku mengeluarkan satu cerita yang selama ini belum pernah aku singgung sedikitpun. Maaf Ma, untuk ini aku tak punya radar untuk membaca sandi yang kau kirim. Jadi yaa… :D

Entahlah Ma, aku hanya merasa baru Mama yang ikhlas mengakui kalau aku ini cantik tanpa peduli hitam putih, gemuk kurus fisik dari anakmu ini.  Mungkin benar memang, bukan cantik yang menjadikan cinta, tapi cinta yang membuatnya cantik. Dan rasa-rasanya belum ada yang mencintaiku sesabar Mama. Atau mungkin lebih tepatnya belum berani mengikrarkan dirinya bila ia sependapat dengan Mama. Pede sekali aku ini ya.. Hehe…



Enggaklah Ma, aku cukup tau diri untuk masalah ini. Karena dari segi apapun tak ada yang bisa kubanggakan seperti gadis-gadis lain. Aku bahkan tak berani walau sekedar membayangkan seperti apa calon anak laki-laki Mama nanti. Aku hanya berusaha memperbaiki diri sebaik yang aku bisa. Sisanya biar Allah yang menentukan yang terbaik dengan segala kejutannya. Yang jelas, dia InsyaAllah anak sholih yang juga sayang sama Mama.



Ma,
Tadi waktu Ai baca surat ini katanya suratku seperti anak kecil. Manja sekali. Mm…. surat ini memang kubuat dengan bahasa yang sejujurnya. Tanpa memperdulikan diksi, rima bahkan nada. Entahlah. Rasa-rasanya semua kedewasaan yang kupelajari selama ini hilang bila berhadapan denganmu, Ma. Menjadi seperti anak kecil dengan rengekan yang tak ada habisnya. Aku juga heran kenapa aku selalu begini dengan orang yang aku nyaman bila ada didekatnya. Semoga tak keceplosan dengan orang selain Mama ya.



Mama,
Terimakasih sudah memutuskan untuk memilikiku. Terimaksih sudah memperkenalkanku pada dunia. Terimakasih sudah mengajarkanku apa arti perjuangan.

Maafkan anakmu ini, yang selalu membuatmu was-was, yang selalu rusuh. Yang belum bisa seperti yang kau mau… ah..

Aku hanya bisa berharap untuk terus bisa memberikan yang lebih baik untukmu. Secerewet apapun dirimu, Mama tetap wanita nomor satu bagiku.

Aku tak bisa memilih siapa yang menjadi ibuku. Mamapun tak tahu anak seperti apa yang lahir dari Rahim Mama. Tuhan yang mempertemukan kita.

Dan aku bersyukur ditakdirkan jadi anak Mama. Tersenyumlah Ma…


Walau tak bertemu berbilang waktu
Aku tetap penggemar beratmu nomor satu,
Anakmu…
separador

0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.

Salam ^__^

Foto saya
Jogjakarta Hadiningrat, Indonesia
Terkadang tulisan seperti diam, adalah pilihan terbaik disaat hati dan lidah lelah untuk berkata.. Welcome In My Abstract Mind... ^^

Categories

Followers