Membaca seperti ini tak kan ada
rasanya jika dibaca sambil lalu. Duduk yang baik, Tenangkan diri, tarik nafas, tahan…tahannn…
lepaskan… #Puuuuttttt.
Selamat pencernaan
anda lancar !!!
***
Saya menyebut coretan kali ini
surat. Surat untuk Ibu saya tepatnya. Hal mainstream yang juga dilakukan
sebagian orang diseluruh dunia. Tapi saya tak berniat membacakan isinya saat
menelepon nanti, apalagi pergi ke kantor pos untuk kemudian meminta
mengirimkannya ke pulau kecil kami. Tidak.
Surat ini tak dibuat untuk memberi
tahu pada Ibu saya apa yang sedang saya rasakan. Besar kemungkinan dia sudah
tau apa yang selama ini saya pendam.
Surat ini ditulis demi menguras isi kepala saya sendiri. Demi mengurangi
rindu yang ada didada ini. Surat ini hanya sebagai tanda, kalau saya punya Ibu
yang luar biasa. Mungkin biasa saja bagi yang lainnya. Tapi Ibu saya adalah
orang yang tak kan tergantikan dengan apapun juga.
***
“Bila ada satu
hal yang tak bisa kuungkapkan, mungkin itulah perasaan”
-Aez--
Untuk Mama’ yang
mestinya lupa kalau hari ini adalah hari Ibu…
Assalamualaikum Ma’…
Kemarin anakmu jadi
juru sortir tak resmi disalah satu lomba ‘surat untuk Ibu’. Bagus-bagus isinya,
bikin merinding dan mengharukan dibuatnya. Kebanyakan dari mereka mengawali
surat dengan bertanya ‘Apa kabar’? ah terlalu retoris kalau akupun mengikut
seperti itu, karena bukankah barusan Mama menelepon lalu bercerita sedang
membuat pesanan, itu artinya kau sedang sehat-sehat saja. Iya kan?.
Taukah Ma, aku selalu
berusaha jadi anak baik dan menjalani hidup seperti yang Tuhan suruh, biar Allah
cinta sama aku dan Mama yang sudah melahirkanku. Lalu menukarnya dengan nikmat
sehat yang tak habis-habis untuk Mama juga orang-orang yang Mama sayangi.
Karena apalagi yang bisa membuatku tidur nyenyak malam ini selain mengetahui
bahwa Mama baik-baik saja disana.
Tadi waktu
mengecek path isinya didominasi tentang Ibu, kebanyakan foto-foto mesra Ibu
dan anak disaat momen bahagia mereka. Nyengir-nyengir basah Vivi lihatnya Ma.
Jangan Tanya kenapa aku tak melakukan hal yang sama. Mama paling tahu tentang
hal ini. Tapi tenang Ma, nanti kita balas mereka waktu Mama pulang saat wisuda.
Kita selfie banyak-banyak dan aplot suka-suka. Plus tambahan caption ‘Rapel untuk satu, dua tiga, … enam tahun
hari Ibu. *Rapel? Dipikir gaji*, yaa… namanya juga suka-suka. Iya kan Ma,?
Hahaa
Mama,
Ingin sekali aku
berterimaksih pada Kakek Martin Cooper yang sudah dengan cerdasnya menemukan
benda bernama telepon genggam. Karena itu satu-satunya benda dimana aku masih
bisa mendengar omelanmu atau kemudian kita dapat berbicara lama meski tanpa
tema.
Benda yang mana darinya
aku paham betapa sebenarnya kau selalu mengkhawatirkanku. Aku hanya bisa
membantu dengan secepat mungkin mengangkat setiap namamu yang berkedip-kedip
dilayar hapeku. Menepikan motor bila sedang diperjalanan. Menghentikan suapan
bila sedang makan. Karena aku tau bagaimana cemasnya dirimu bila panggilan itu
tak segera mendapat jawaban.
Makanya aku kadang tak
habis fikir dengan mereka yang sering malas mengangkat telepon dari Mama mereka.
Atau mengeluh karena dianggap masih seperti anak kecil yang selalu dipantau
keadaannya. Padahal jika tau, masih banyak anak lain yang bersedia menggantikan
posisi itu. Diomel tiap saat, bertemu tiap hari, disuruh-suruh tiap waktu. Ahh… bahagianya…
Aku paham Ma, bahkan
sampai saat inipun dimatamu aku masih tetap anak kecilmu yang suka teledor ini
itu kan. Terbukti pertanyaan sudah makan? sudah sholat? Atau tadi pagi sahur
nggak? Menjadi mantra rutin yang selalu kau rapalkan setiap kita memulai
pembicaraan. Semua selalu kutanggapi dengan tertawa terutama pertanyaan
terakhir. Karena aku tau benar seberapa sakti omelanmu jika aku berkata
‘enggak’.
Tapi tenanglah Ma, aku sudah bisa menjaga diri. Bukankah Mama sendiri
yang menasehatkan kalau aku harus bisa merawat diri sendiri saat jauh dari
Mama. Nah, kini aku sudah terbiasa bangun subuh setiap hari. Mungkin memang tak
untuk makan sahur seperti yang kau tanyakan.
Biasanya ada Mama yang
cerewet dan begitu berisik memaksa untuk bangun dari tidurku yang katamu selalu
seperti orang kena sirep. Susah bukan
main. Tapi anehnya dengan jauh darimu justru sering aku tersentak bangun dengan
sendirinya. Aku merasa seperti ada tangan halus yang mengelus pipi atau
menggosok punggungku yang memaksa untuk terjaga. Padahal saat kubuka mata, yang
ada hanya aku sendiri bersama subuh yang dingin. Ada yang hilang dari subuhku
Ma. Sesak rasanya. Aku hanya bisa meredam dengan sujud-sujud panjang semoga
Mama selalu disayang Allah disana.
Mama,
Vivi sekarang punya
adik banyak sekali diasrama. Mereka semua luar biasa. Sebenarnya aku agak
sedikit gengsi untuk mengenalkan mereka pada Mama suatu hari nanti. Takutnya
Mama iseng jadi pingin ganti anak yang seperti mereka. Haha… Aku tau itu hal paling konyol yang
mungkin hanya ada dikepalaku. Tapi Ma, aku jujur untuk hal ini. Aku tak tau, mungkin
karena aku ini pecemburu. Untuk itulah kenapa aku punya seleksi yang ketat
untuk siapa saja yang boleh mengambil bagian dihatiku. Biarlah aku terkesan
seperti es yang selalu beku. Aku Cuma tak ingin hati yang sebenarnya rapuh ini
retak untuk hal yang tak perlu.
Oh iya Ma, adik-adik
tadi sering sekali bercerita ini itu. Salah satunya bagaimana rindu mereka
dengan Ibunya yang juga nun jauh disana. Dari rengekan mereka Vivi tau mereka
tak main-main. Mana ada rindu yang main-main bila sudah dibarengi air mata. Setiap
mereka menceritakan rindu itu aku sering kasihan dengan mereka Ma. Sudah berminggu
bahkan berbulan-bulan mereka tak jumpa dengan ibu mereka. Mereka harus sabar
menunggu libur lebaran atau waktu senggang yang sangat sedikit dari padatnya jadwal
asrama. Vivi paham dengan semua rindu itu. Meski mereka terkadang menyangsikan
dengan kalimat: Kalau Mbak Vivi enak,
kalau ada apa-apa tinggal pulang. Kan rumahnya dekat. Ah Ma, kalau sudah di
skak seperti itu aku bisa apa.
Hahaha…
Tapi Ma, aku jadi
belajar. Bahwa sebenarnya rindu yang meraksasa terkadang tak bersuara. Cinta
yang murni terkadang ada pada lembah
yang sunyi. Mama mengajariku satu hal. Bila cinta berarti harus selalu bersama,
harus selalu saling sapa atau penuh canda bagaimana menjelaskan tentang Akar
dan daun yang tak pernah bertemu namun menghidupi atau matahari dan bumi yang
tak mendekat untuk tak saling menyakiti?
Jarak berkuasa bukan
untuk disalahkan apalagi dikasihani. Mereka hanya ingin ada jeda, supaya mereka
punya makna. Adapun rasa bukan untuk diterka, jadi biarlah ia tetap indah
sebagai sesuatu yang tak disangka. Suka tidak suka. Aku percaya bahwa jarak
dicipta agar rindu tetap hidup dan tak pernah redup. Aku hanya perlu belajar untuk
lebih sering mengucap namamu dalam doa. Benar begitu kan Ma?
Ma,
Hari ini adalah dimana
orang memberikan kado spesialnya. Namun apalah, aku tak punya cukup uang untuk
itu. Bahkan adapun untuk menyerahkannya aku ragu apakah mampu. Jangankan itu,
memberikanmu kado ucapan selamat hari ibupun aku malu. Iya parah memang.
Entahlah Ma, anakmu ini sedikit bermasalah dalam mengekspresikan cinta. Untunglah
Tuhan mencipta aksara, satu-satunya tempat dimana cintaku bisa bersuara. Karena
hanya dengan aksara aku bebas jatuh cinta tanpa interupsi. Maka tak heran dalam
surat ini aku bisa berkisah sampai berlembar-lembar namun saat bercerita
langsung denganmu aku hanya lebih banyak mendengar.
Ada yang Lucu saat Mama
menelepon dan begitu cerewet menceritakan banyak hal. Sesekali memancing dengan
berkisah si A yang sudah punya pacar atau si B yang sudah sering diantar si C.
Kenapa Ma? Apa sebenarnya yang mau Mama tau? Mama takut anak nakalmu ini
seperti itu atau Mama mau aku mengeluarkan satu cerita yang selama ini belum
pernah aku singgung sedikitpun. Maaf Ma, untuk ini aku tak punya radar untuk
membaca sandi yang kau kirim. Jadi yaa… :D
Entahlah Ma, aku hanya
merasa baru Mama yang ikhlas mengakui kalau aku ini cantik tanpa peduli hitam
putih, gemuk kurus fisik dari anakmu ini.
Mungkin benar memang, bukan cantik yang menjadikan cinta, tapi cinta
yang membuatnya cantik. Dan rasa-rasanya belum ada yang mencintaiku sesabar
Mama. Atau mungkin lebih tepatnya belum berani mengikrarkan dirinya bila ia
sependapat dengan Mama. Pede sekali aku ini ya.. Hehe…
Enggaklah Ma, aku cukup
tau diri untuk masalah ini. Karena dari segi apapun tak ada yang bisa
kubanggakan seperti gadis-gadis lain. Aku bahkan tak berani walau sekedar
membayangkan seperti apa calon anak laki-laki Mama nanti. Aku hanya berusaha
memperbaiki diri sebaik yang aku bisa. Sisanya biar Allah yang menentukan yang
terbaik dengan segala kejutannya. Yang jelas, dia InsyaAllah anak sholih yang juga
sayang sama Mama.
Ma,
Tadi waktu Ai baca
surat ini katanya suratku seperti anak kecil. Manja sekali. Mm…. surat ini memang
kubuat dengan bahasa yang sejujurnya. Tanpa memperdulikan diksi, rima bahkan
nada. Entahlah. Rasa-rasanya semua kedewasaan yang kupelajari selama ini hilang
bila berhadapan denganmu, Ma. Menjadi seperti anak kecil dengan rengekan yang
tak ada habisnya. Aku juga heran kenapa aku selalu begini dengan orang yang aku
nyaman bila ada didekatnya. Semoga tak keceplosan dengan orang selain Mama ya.
Mama,
Terimakasih sudah
memutuskan untuk memilikiku. Terimaksih sudah memperkenalkanku pada dunia.
Terimakasih sudah mengajarkanku apa arti perjuangan.
Maafkan anakmu ini,
yang selalu membuatmu was-was, yang selalu rusuh. Yang belum bisa seperti yang
kau mau… ah..
Aku hanya bisa berharap
untuk terus bisa memberikan yang lebih baik untukmu. Secerewet apapun dirimu,
Mama tetap wanita nomor satu bagiku.
Aku tak bisa memilih
siapa yang menjadi ibuku. Mamapun tak tahu anak seperti apa yang lahir dari
Rahim Mama. Tuhan yang mempertemukan kita.
Dan aku bersyukur
ditakdirkan jadi anak Mama. Tersenyumlah Ma…
Walau tak bertemu berbilang waktu
Aku tetap penggemar beratmu nomor satu,
Aku tetap penggemar beratmu nomor satu,
Anakmu…
0 komentar:
Posting Komentar