:a: :b: :c: :d: :e: :f: :g: :h: :i: :j: :k: :l: :m: :n: :o: :p: :q: :r: :s: :t: :u: :v: :w: :x: :y: :z: :1: :2: :3: :4: :5: :6: :7: :8: :9: :10: :11: :12: :13: :14:

Welcome In my blog

"Kata-kata bisa mengobati atau melukai, memberikan harapan atau merampasnya"

Aez Quote

Not trial and error but trial and learn

Total Tayangan Halaman

Lokinfo

Translate

Tag Cloud

Entry Populer

Jumat, 09 Februari 2018

Rindu

H-99 Ramadhan

Berdebu sekali tempat ini. padahal dulu ini adalah taman bermain yang aku adalah penguasanya. bebas, tanpa interupsi.

Entah sudah berapa kisah yang kubiarkan lupa. Entah sudah berapa rasa yang kubiarkan berlalu begitu saja. Tanpa kuikat, untuk kelak jadi jembatan cerita.

Aku tak pernah berniat untuk benar-benar pergi. Hanya izinkan aku untuk istirahat sebentar lagi.


Dari Rindu yang keterlaluan.
Vivi
Read more...
separador

Rabu, 28 Oktober 2015

Jauh Sama dengan Jarak adalah Tanda Tanya


Apa itu 'jauh'?

Sebenarnya mana yang lebih jauh,
Matahari atau Ibuku dipulau seberang?
Jika kupilih matahari, kenapa aku bisa menatapnya hampir setiap hari
sedang Ibuku bertahun sekali pun tak pasti.
Jadi, apa itu jauh?

Sebenarnya mana yang lebih jauh,
Ibuku dipulau seberang atau dia yang ada diujung jalan?
Jika kupilih Ibuku, kenapa hanya bermodal pulsa aku bisa mendengar suaranya kapanpun aku suka
sedang dengannya berbicarapun hanya berbilang kata
Jadi, apa itu jauh?

Sebenarnya mana yang lebih jauh,
Dia yang ada di ujung jalan atau pesan hatimu yang tak tersampaikan?
Jika kupilih dia, kenapa sesekali aku masih bisa berpapasan
sedang pesan itu, mungkin hanya akan dimengerti karena keajaiban atau kasih sayang Tuhan, yang itu pun tah kapan
Jadi, apa itu jauh?

Apapun yang terlihat, boleh jadi tidak seperti apa yang kita lihat
Apapun yang hilang tidak selalu lenyap seperti yang kita duga
Dan jika jauh hanya melulu tentang jarak,
Akan ada banyak pertanyaan yang dijawab dengan pertanyaan

_Aez--
Read more...
separador

Rabu, 24 Juni 2015

Sebuah Kisah

Kita yang hidup menjalani hidup dengan mengalir seperti air
Mungkin lupa bahwa air hanya mengalir ketempat yang lebih rendah
***
“Jika memang Muhammad seorang Nabi”, kata para pemuka Yahudi kepada Zaid bin Haritsah, “Kau takkan pernah bisa pulang!” kata-kata itu mereka deraskan pada Zaid menjelang keberangkatannya memimpin pasukan ke Mu’tah. Saat itu Rasulullah  Shallallaahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda kepada sang panglima dan pasukannya, “Jika Zaid syahid, maka Ja’far ibn Abi Thalib yang akan memimpin pasukan. Jika Ja’far gugur, maka ‘Abdullah ibn Rawahah yang akan memegang bendera.

“Sesungguhnya dulu”, kata orang-orang Yahudi itu, “Apabila Nabi-nabi Bani Israil menyebut nama seratus orang sebagai panglima, maka dipastikan mereka semua akan gugur. Jadi, jika memang Muhammad seorang Nabi, Engkau wahai Zaid pasti mati dalam perang ini!” Apa jawab Zaid? Ibnu Katsir dalam Al Bidayah wan Nihayah merekamnya, “Tak setitik pun keraguan padaku bahwa dia seorang Nabi. Dan kata-katanya benar lagi dibenarkan dari langit tinggi!”

Maka 3000 pasukan itu pun berangkat diiringi syair-syair semangat dari panglima ketiga, ‘Abdullah ibn Rawahah. Adapun ia, menangis pada awalnya. Apakah karena takut kan kematian seperti bisik-bisik para Yahudi? “Bukan!”, tegasnya. Ia lalu membaca ayat ke-71 dri surat Maryam.

“Dan tidak seorangpun dari kalian melainkan akan mendatangi neraka itu. Itu bagi Rabbmu adalah suatu kemestian yang telah ditetapkan.” (Q.s. Maryam [9]: 71)

“Aku tidak tahu bagaimana caranya keluar dari neraka itu setelah mendatanginya”, kata ‘Abdullah. Sahabat-sahabatnya pun menyahut, “Semoga Allah senantiasa menemanimu dan mengembalikanmu kepada kami dalam sehat sentausa!” Menjawab do’a itu ia pun bersenandung:

Tetapi aku, kumohon ampunan kepada Ar Rahman
Dan pukulan keras menghantam buih lautan
Atau hentakan mematikan di tangan yang dahaga
Menghunjamkan tombak menembus kulit kedalam dada
Hingga orang katakan ketika lalui pusaraku
Inilah pahlawan yang mentaati Ilahi

‘Abdullah ibn Rawahah menegaskan cita tinggi di dalam syairnya ini. dan ketika rombongan sampai di Ma’an, mereka mendengar bahwa Heraclius, kaisar Romawi, memimpin sendiri 100.000 bala tentaranya yang lalu digabungkan dengan pasukan Lakham, Judzam, Qain, Bahra’ dan Baliy yang dipimpin oleh Malik ibn Zafillah hingga seluruhnya berangka 200.000 prajurit bersenjata lengkap. Bagaimanakh ini, sedangkan kekuatan pasukan dari Madinah hanya 3000 personel? Satu berbanding tujuh puluh?

“Kita tulis surat kepada Rosulullah Shallallaahu ‘Alaihi wa Sallam”, kata seseorang. “Kita beritahu jumlah beliau jumlah musuh kita. Bisa jadi beliau akan mengirimkan pasukan tambahan. Atau beliau akan memberikan suatu perintah. Lalu kita taati perintah itu.”

Ada yang mengangguk. Tapi sebagian besar menolehkan kepala kepada para panglima. Zaid ibn Haritsah dan Ja’far ibn Abi Thalib terdiam. Zaid seperti biasa memang tak banyak kata. Sedang Ja’far  yang baru saja datang ke Madinah dari hijrahnya di Habasyah merasa belum berhak banyak bicara. Mereka lalu melirik  ‘Abdullah ibn Rawahah, sang penyair Anshar. Dalam hati Zaid dan Ja’far mungkin melintas pendapat, karena sebagian besar pasukan ini terdiri dari kaum Anshar biarlah ‘Abdullah yang bicara. Lisannya yang fasih, kata-katanya yang jernih dan nada bicaranya yang menggelora akan meyakinkan setiap orang.

“Saudara-saudaraku”. Kata ‘Abdullah kemudian, “ sesungguhnya apa yang tidak kalian suaki ini justru merupakan tujuan dan cita-cita keberangkatan kita. Tidakkah kalian merindukan mati syahid? Kita memerangi musuh bukan mengandalkan senjata dan kekuatan, ataupun banyaknya bilangan. Kita memerangi mereka hanyasanya mengandalkan agama ini, yang Allah telah muliakan kita karenanya. Maka dari itu, majulah dengan barakah Allah! Kita pasti memperoleh satu di antara dua kebaikan; menang atau syahid!!”

Lalu semua orang menyorakkan Takbir..

Ambil ini abu Sulaiman!
Benturan pertama peradaban Madinah dengan Romawi ini diwarnai kisah-kisah agung gugurnya para anglima. Zaid ibn Haritsah merengsek ketengah musuh membawa bendera Rosulullah hingga puluhan tombak menyapa tubuhnya, memintanya untuk berhenti. Dan ruhnya disambut ranjang surga. Ja’far meraih bendera itu, memegangnya denga tangan kanan hingga lengannya lepas, mendahuluinya ke surga menjadi sayap berwarna hijau yang kelak dipakainya terbang kemana pun ia suka. Lalu dipegangnya denga tangan kiri, dan tangan itu pun putus. Lalu didekapnya bendera itu da dadanya hingga seorang prajurit Romawi membelah tubuhnya. Maka Ja’far segera terbang di surge. Syair yang bergetar dari bibirnya menjelang syahid masih terdengar hingga kini.

Oo indahnya surga, dan betapa ia kian dekat
Harum semerbak, segar sejuk minumannya.

“Jika kau ikiti kedua pahlawan itu”, gumam sang panglima ketiga, “Kau akan mendapat petunjuk.” Tapi bersitan keraguan masih meraja dihatinya. Akankah pertempuran ini diteruskan sementara korban yang jatuh dari kaum muslimin telah demikian banyak? Hanya dalam beberapa saat dua panglimanya telah memenuhi janji kepada Allah untuk mati membela agamaNya. Oh, dia sungguh ragu. Tidakkah ini tersia? Tapi tidak. Dia juga sudah dekat dengan cita-citanya. Pasukan ini milik Allah, kepadaNyalah ia titipkan jika memang telah tiba saat baginya untuk menyusul kedua sahabatnya. Maka dia ingatkan kembali sang diri akan cita-citanya. Syairnya diteriakkan lantang. Biarlah jiwanya yang didalam dada menyimak. Biarlah tiap makhluk menjadi saksi.

Kenapa kuliahat engkau tak menyukai surga..
Bukankah telah sekian lama kau tunggu ia dalam cita?
Bukankah kau ini tak lebih dari setetes nuthfah yang ditumpahkan?

Maka dilemparnya pula sekerat tulang yang tadi dia gigit untuk menegakkan punggungnya. Dia menjemput cita tingginya. ‘Abdullah ibn Rawahah sang penyair yang dicintai Allah dan Rasul-Nya itu syahid. Tsabit ibn Aqram Al Ajlani segera meraih bendera dari pelukan ‘Abdullah dan ia berlari kea rah seseorang yang sibuk membabat musuh dari punggung kudanya. “Ambil ini Abu Sulaiman!!!”, dia berteriak.

“Tidak!”, kata yang dipanggil. “Jangan aku. Engkau ikut perang badar. Engkau lebih layak!”

“Demi Allah, ambil ini Abu Sulaima!! Tidakkah aku mengambilnya melainkan untuk kuberikan padamu!!”

Dan orang yang dipanggil Abu Sulaiman itu pun mengambil-nya. Di saat itulah, diwaktu yang bersamaan, dari atas mimbar Masjid Nabawi di Madinah, sang Nabi berlinag air mata mengisahkan tiga panglima yang diutusnya. Setelah air matanya sedikit terseka, beliau Shallallaahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, lalu bendera itu diambil oleh salah satu pedang diantara pedang-pedang Allah. Dan Allah memberikan kemenangan melaluinya.”

Pedang Allah itu akrab dipanggil Abu Sulaiman. Nama aslinya Khalid ibn Al Walid.
***

Saya selalu suka siroh. Selalu mentenagai untuk tak pernah berhenti menjadi orang baik dan menjalani hidup seperti seperti yang Tuhan mau. Dan entah kenapa, menjadi sangat ‘cengeng’ jika sudah membaca yang semisalnya. #kuncikamar

Terilhami penuh dari Ust. Salim A. Fillah

_Aez--
Read more...
separador

Sabtu, 09 Mei 2015

Karena Allah Tak Pernah Salah

Bismillah…
Siapa yang tak tau mengenai kisah Ali dan Fatimah. Kisah maha romantis jika dengan Romeo Julietnya Mbah Shakespeare yang katanya mendunia saja tetap jauh kelasnya. Bagaimana mungkin sikap cemen Romeo bisa disandingkan dengan jantannya Ali dalam menapaki jalan cintanya. Sekuku hitampun tak ada.

Dibekunya cerita romansa bersebab ketidakmampuan, kisah Ali dan Fatimah menjadi oase bagi para penganut kesucian. Seperti hujan pertama di akhir musim kemarau, penuh pengharapan. Menjadi pengokoh dan pupuk dalam menyongsong janji-janji Tuhan.

Tapi kawan, saat semua teladan itu sudah kita ikhtiarkan; memantaskan diri, menjaga izzah dan iffah, meningkatkan kualitas dan lain sebagainya namun pada ending tak sama dengan kisah mereka. Apa kemudian yang akan kita lakukan?

“Allah tak pernah salah”
Cukup ingat kalimat itu dan lanjutkan ketaatanmu.

Jika pada akhirnya nanti kisah kita tak sama dengan kisah mereka, percaya saja jika ia akan berakhir dengan cerita yang jauuh lebih indah lagi.

Karena Tuhan tak pernah salah.
Sekali lagi,
Karena Allah tak pernah salah, sayang……


***

Terlahir dari cerita malam tadi, dan untuk semua pertanyaan yang sama diribuan kisah serupa.
Yang menulis adalah ia yang belum pernah merasakan, banyak khilafnya, maafkanlah...

Untuk gadis manis dengan satu cinta dihatinya,

#bighug ^^ 

--Aez
Read more...
separador

Jumat, 03 April 2015

Menjauh


Seperti anak muda pada zamannya, saya dulu suka sekali sama musik. Bahkan dalam sehari saja rasanya hampa jika tak mendengarkannya barang sebentar. Meskipun saya bukanlah tipe yang selalu apdet dalam jagad permusikan dalam artian tau apa saja lagu yang baru rilis. Tapi masa itu setidaknya ada beberapa lagu ‘kebangsaan’ semacam SheilaOn7, Bondan, beberapa yang bergenre Acapella, akustik, boyband sekelas westlife sampai sondtracknya naruto adalah beberapa yang wajib nongkrong di play list.
Iya, saat itu.

Sampai pada suatu malam, saat hujan rintik-rintik, diantara bunyi katak yang meraung-raung. Anginpun turut menghembuskan aroma mistis, bulu kuduk berdiri satu persatu. Daun jendela yang lupa dikunci berdecit-decit ditingkah angin. Malam semakin larut semakin kelam karena kabut, dan tiba-tiba…. #PLAKKK -FOKUS WOii-  (T..T)q

Oke fokus, sampai suatu malam saya mengambil keputusan besar dalam hidup saya. Dengan berat hati saya harus mengambil sikap… untuk… untuk… untuk menghapus semua lagu dari play list hape saya.
Apa pasal? Gak ada si, ya waktu itu pingin aja. #eh

Bukan. Saya tau seberapa degil sifat saya. Kalau masih ada wujud disana pasti bakal curi-curi kesempatan gimanapun caranya. Dengan mengetahui kelemahan sendiri, untuk mensukseskan itu artinya harus meninggalkan sekecil apapun kemungkinan yang akan menghambat semua niatan. Menjauh untuk menjaga, sebenarnya saya benci konsep ini. Tapi, selama itu mengutamakan Allah, setaksuka apapun saya terhadap hal itu, akan tetap saya lakukan. #batu

Ketika itu awal-awal masuk kuliah. Saat Allah memberi saya kelapangan semangat yang begitu besar untuk belajar menjadi ‘orang baik’. Ada sebuah nasehat yang saya pegang dari hari itu sampai saat ini dan InsyaAllah hingga nanti.

“” Lembutkan Hati

Hal yang harus selalu kamu lakukan adalah lembutkan hatimu Vi. Perbaiki apa yang kamu dengar. Fikirkan apa yang akan kamu ucapkan. Bergaulah dengan orang-orang baik. Hati itu sumber segalanya. Kelak, akan kau rasakan, hati yang baik tak kan pernah membenci kecuali karena Allah meskipun ia tersakiti. –dikutip dari buku agenda

“Perbaiki apa yang kamu dengar”. Kita itu adalah kolaborasi dari apa yang kita baca, dengar dan amati. Biasanya berawal dari apa yang kita dengar itulah nanti yang akan kita ucapkan. Untuk diri pribadi saya sadar banget akan hal ini. Dalam arti banyak hal saya itu sedikit sensitiv di bagian pendengaran dan penciuman (Tiba-tiba berasa mirip hewan pengerat =..= ). Jadi ketika bertemu dengan orang baru biasanya lebih cepat kenal dari suara. Misal ketika rapat menggunakan hijab atau suara adzan tanpa melihatpun biasanya saya bisa menebak itu si A atau si B. Beda kasusnya jika berhadapan langsung, sering ketemu juga masih suka kebolak balik dia ini D atau E.

Hafalanpun demikian, sesekali butuh dibacakan kemudian saya diam mendengar dengan menutup mata. Biasanya sih ampuh dan saya dapat mengulang-ngulangnya. Yah, intinya begitu. Apa yang saya dengar sangat mempengaruhi kemudian apa yang saya lisankan lebih jauh berpengaruh banyak dalam diri saya.

Setelah play list music isinya murotal semua, mau gak mau kan ya cuma itu yang bisa diputar. Meskipun awalnya agak gimanaa gitu kalau dengerin begituan, karena dulu berasa kayak dirumah orang yang baru saja meninggal. Astagfirullah… tapi akhirnya witing tresna jalaran saka kulina berlaku untuk kasus ini. Alhamdulillah

Awalnya saya mewajibkan diri untuk mendengar murotal minimal dipagi hari dan sebelum tidur. Efeknya? Ternyata menakutkan sodara…

Setelah hari berganti tahun ada semacam reaksi ‘narkoba’ disana. Something loose ketika saya tak mendengarnya. Dan… berasa aneh saat mendengar selainnya. Lebih jauh, saya bisa sakau saat terlalu lama menjauh dari bacaan itu. Entah apa sebabnya.

Beberapa kali saya merasakan efek dari sakau tersebut. Mood kacau, kelakuan makin gak terkontrol dan masih banyak lagi yang bikin rusuh. Menjadi banyak bicara yang bukan gue banget. Saya itu punya habit mikirin apa yang udah saya ucapkan sebelum tidur. Makanya semakin banyak bicara saya semakin lelah. Semakin susah tidur. Berujung mimpi buruk berbentuk galau dan merasa bersalah. Berakhir saya menjadi benci sekali dengan diri sendiri. Berbahagialah bagi mereka yang tidak punya ‘penyakit’ seperti ini ya.

Setelah ditelisik salah satu penyebab kacaunya ini adalah telinga saya sudah terlalu banyak menangkap hal-hal yang kurang penting tanpa ditebus dengan hal-hal baik setelahnya. Lebih spesifik kemudian saya mengingat kapan terakhir telinga ini menangkap ayat-ayat Allah itu.
Walau terdengar lebai tapi saya serius, ini benar-benar serius gaes. Untuk diri saya pribadi efeknya separah itu

Rasa-rasanya di tubuh ini sudah terbentuk reaksi ketagihan akan sesuatu yang disebut murotal. Meski tak paham bagaimana cara kerjanya tapi sesuatu ini sangat mempengaruhi jiwa saya. Jika lama tak jumpa tetiba saya bisa berubah menjadi orang yang menjengkelkan. Ia seperti orang yang kehausan dan menuntut untuk dipenuhi hajatnya. Ada reaksi semacam rindu saat lama tak jumpa. Rasa tak nyaman yang tak menahu apa sebabnya jika ia dibiarkan berlarutan. Saya sudah kecanduan terlalu jauh ternyata, tapi.. tak apa kan?

Jadi maafkan saat saya kadang lepas control jedag-jedug muterin play list andalan sampe seantero asrama denger. Itu bukan bermaksud apa-apa. Serius…
***

Banyak hal terkadang yang tak kita pahami dikehidupan ini. Parahnya tak semua kita berniat menjelaskan apa yang dirasakan. Membiarkan ia mengalir menemukan jalannya. Sambil berharap-harap cemas semoga ia selamat sampai tujuan.

Katanya, apa yang baik dimata kita tak selamanya baik dimata Tuhan. Hanya berjalan dengan mengikuti aturanNya adalah hal yang paling mungkin untuk sampai pada apa yang disukaiNya.

Jika penjagaan harus dilakukan dengan cara yang tak disukai, mungkin dengan meletakkannya sebagai kewajiban dan bukan pilihan dapat meredam pemberontakan ego yang meraksasa. Dengan kepercayaan penuh Tuhan memiliki skenario terbaik atas apa yang telah kita usahakan.
***


Menjauh untuk menjaga, sejujurnya saya benci konsep ini…
__Aez--
Read more...
separador

Sabtu, 21 Februari 2015

Untuk Kalian Yang sudah Berhijab

Bismillah…
Sembari nunggu pakaian saya selesai direndam Do*ny, saya pingin nyampah dulu disini. Dengan harapan moga-moga ‘sampah’ ini bisa di daur ulang dan menjadi sesuatu yang bermanfaat bagi pemirsa sekalian. :)

&&&

Sebagai seorang ‘pemerhati fesyen jalanan’ (Sebentar, pekerjaan ini baru terbentuk dua detik yang lalu diotak saya. Jadi gak perlu nanya job desknya gimana karena saya udah pasti bingung buat ngarang jawabannya. hehe) saya udah gak kuat untuk tidak menuliskan ini. Jadi ampuni saya, untuk predikat ‘memaklumi’ kayaknya bakal hilang karena catatan ini.

Waktu merebak kasus jilboob dengan ciri khas kerudung super pendek and please see my boob saya gak ikut-ikutan ribet komentar sana sini, kalem aja dengan khusnudzon si embak memang belum paham makanya make kayak gitu.

Juga saat para ‘hijaber’ mulai ramai mosting tutorial cara make kerudung yang jujur dari hati yang terdalam sama sekali gak berminat buat ngikutin karena ribetnya gak ketulungan. Lah mikir bisa antri kamar mandi paling dulu dan bisa nyampe kampus tanpa lari-lari aja udah syukur kok. Lagian kata Pak Mario Teguh wanita yang tetap cantik dalam kesederhanaannya adalah wanita cantik yang sesungguhnya. :D #tsaahh.
Saat itu meski banyak pertanyaan untuk mbak-mbak ‘hijaber’ tersebut seenggaknya emosi saya masih bisa dikendalikan dengan harapan semoga setelah banyak yang tertarik make kerudung diiringi juga dengan  keinginan untuk semakin mempelajari tutorial make hijab yang baik dan benar. I^^

Tetapi untuk fenomena yang sebenarnya udah lama saya rasakan ini izinkan saya untuk sedikit ‘nggrundel’ ya sodara. Kenapa? Karena ini sebenarnya lebih mengena pada mbak-mbak yang udah paham pentingnya menutup aurat.

Saat ini kesadaran memakai hijab yang baik dan benar sepertinya sudah mulai disadari. Dengan banyaknya muncul pakaian muslimah longgar dan kerudung tsantik nan lebar menutup dada. Ditambah mbak-mbak artis juga mulai banyak yang mengikut demikian. Makin suka lihatnya. Jadi cantik-cantik mereka. :D

Namun, pemandangan yang ‘meneduhkan’ itu menjadi belingsatan kembali setelah diperhatikan baik-baik. Apa pasal? Hijab itu ternyata…*dengg… ternyata…*deng deng… ternyataaahh *deng deng deng dengggg…  ‘NYEPLAK’ pemirsa. T..T

Longgar sih udah. Tidak nrawang juga udah. Kerudung panjang banget udah. Tapi ya itu, nyeplak. nyeplak disini itu nempel dibadan kamsudnya jadi kita tetep bisa mengira-ngira si embak ini ‘ukurannya’ segini atau segini. T..T

Nah, inilah kenapa yang ngebikin saya ‘gak kuat’ untuk tidak menuliskan tentang itu. Karena saya berkhusnudzon Mbak-mbak yang tsantik nan soleha dengan pakaian seperti itu adalah mbak-mbak yang udah paham seharusnya make baju yang baik dan benar itu gimana. Hanya tidak disadari jika ada poin yang terlewat dari itu semua. TIDAK MEMBENTUK TUBUH.

Untuk kasus seperti ini saya cuma bisa bilang “Mbak, kalau mau beli pakaian tolong perhatikan bahannya, pliss… ini demi kebaikanmu juga Mbak, demi kebaikanmuu”. T..T

Karena saat ini yang lagi booming memang pakaian yang bisa bikin nyeplak itu. Dengan warna dan model yang terus bersaing dari berbagai brand menambah baju-baju jenis itu jadi makin kaya rasa fariasinya.

Ya, menurut saya yang salah terletak pada bahan kainnya. Ada beberapa kain akhir-akhir ini yang beredar secara brutal dipasaran dan parahnya digemari oleh para konsumen. Sialnya lagi kemudian digunakan dengan cara serampangan dan tidak mematuhi aturan pakai yang ada. Tak perlulah saya sebut jenis bahan tersebut yaa, tar kena tuntut lagi sayanya. Jadi ya monggo saja para pembaca yang budiman menebak jenis kain tersebut.

Saya tak ingin membahas mengenai aturan berhijab disini, saya yakin teman-teman jauh lebih paham dari saya. Saya hanya orang yang sedang belajar dan gak rela kalau dengar “tu lho liat, mbaknya pake kerudung gede sih, tapi sexi boo. Dalemannya keliatan.”. :’(

Mengenai aturan pakai sebenarnya masih bisa diakali kalau memang kadung kebeli. Temen-temen saya yang fesyenebel kalau maksain make gamis berkain nyeplak ini biasanya sebelum make gamis mereka make baju atasan dan rok tebal didalamnya, baru deh dipakai itu gamis. Ribet ya? Lha siapa suruh milih yang ribet. Hehe…

Dann… satu lagi, kerudung… ituu lhooo kerudungg…. Dduuhhh… sulitnya diungkapkan dengan kata-kata. Terutama kerudung yang langsungan. Gini deh, kalau make kerudung ngaca dulu yang lama. Perhatikan bagian telinga, leher, pundak dan dada. Masih membentuk? Juga bagian belakang kepala, ada jendolannya? Kalau iya. GANTI!!! TITIK

Eh iya satu lagi, yang gamisnya model ada karet dipinggang, pakai setut. Setut? (ikat pinggaaang. Itu aja gak tau =..=) saya jadi bisa nebak loh itu ukuran pinggang mbaknya berapa, gimana dong? Yah, mungkin konsesuensinya kudu make kerudung dibawah pinggang dan memastikan kerutan itu gak keliatan apa ya.

&&&

Aturan make baju itu simple aja tho sakjane, longgar, gak nrawang, gak membentuk tubuh dan no tabarruj. Selesai.
Tapi kenapa yang hanya sedikit itu masih terlalu banyak alasan untuk mematuhinya?

Merenung,
Setelah memandang Mbak-mbak tsantik make baju warna warni didepan sana…

~Aez--



Read more...
separador

Minggu, 15 Februari 2015

Cuma Pingin Cerita

Holaa evribadi...…
Disore yang dingin nan mendung ini paling muantep kalau makan mi instan, campur telur (kalau perlu dua biji), tambah tomat dikit, kubis dikit, sledri dikit, wortel dikit sama suwiran ayam dan bawang goreng, tapi yang ini gak boleh dikit, kudu banyak-banyak, hehe... Dimakan selagi hangat dengan tambahan kecap dan saus tomat (minus apapun yang berbau cabe tentu saja). Rasanya mesti.. beuhhh…
Bener gak? :D



Siapa yang gak kenal mi? makanan mahapraktis superheronya mahasiswa ditanggal tua. Makanan mirip cacing ini penyelamat perut saat makanan lain udah mulai jauh dijangkau harga dirinya sama dompet yang  entah kenapa mulai sering terkena marasmus kwashiorkor semenjak saya mahasiswa. Gendut sih, tapi isinya nota sama resi ATM semua. Paling ramah, fleksibel dan banyak rasa… pokoknya tipe ‘gue banget’ lah buat anak kuliahan. Jadi, dengan benda bernama mi instan ini kita memang rentan jatuh cinta. Soalnya pesonanya itu lohh, gak kuaaa~tt… :’D


Ngomongin mengenai mi ya gaes, saya aselinya penggila no satu. Saya udah jatuh cinta sama makhluk itu sejak dulu-dulu kala. Mau dimasak apa juga, lha wong kok dimasak, dikremes campur bumbu gitu aja saya doyan kok. Haha… tapi tetteep, buatan emak saya (kayak yang saya tulis diatas) yang paling ajib. Apalagi semenjak kuliah, dengan segenap sikon yang sering trek dung lalalaa harusnya makin cinta dong ya. Iya, seharusnya
Tapi… mungkin seantero asrama udah paham kalau saya yang pualing ‘gak deket’ sama benda ini. Sampe-sampe kalau kepergok lagi buat mi kata-kata semisal “Wess… Mbak Vi buat mi ee…”, “Eh tumben Mbak, tanggal tua yaa” bakal kedenger sampe mana-mana. Soalnya saya memang yang paling rewel kalau liat mereka pada buat mi instan. Langsung mirip mami-mami rempi yang nemuin anaknya lagi main di becekan padahal baru habis Mandi gitu lah.

Iyaa.., dengan berat hati saya harus mengingkari perasaan sendiri. Dengan banyak alasan saya kudu menjauh dari apa yang saya suka. Soalnya si e-mi ini, katanya, kurang baik buat kesehatan. Diluar dari kontroversi itu bener atau gak. Peduli amat. Yang pasti –bagi saya- sesuatu yang instan itu memang… engg kurang baik. Hehe… Cuma itu? Iya Cuma itu. Cuma gara-gara itu?  Iyaaa… Cuma gara-gara itu. Cuma gara-gara saya pernah dapat nasehat kalau seorang wanita itu seharusnya menjaga dirinya baik-baik, semuanya, tak terkecuali perut yang memang asset no wahid buat wanita. Jadi meski berat hati, saya memilih mundur teratur dari makanan penuh pesona itu. T..T

Kalau ada yang nyangka saya lebai, ndak papa. Its ok. Ini Cuma masalah pilihan kok.

Eungg…saya pernah mengamati sesuatu (halah) kalau yang membedakan antara anak kecil dan orang dewasa salah satu yang sederhana adalah jika anak kecil melakukan apa yang menyenangkan hatinya sedang orang dewasa melakukan apa yang bermanfaat bagi dirinya.

Contoh yang saya tiru dari salah satu suhu saya adalah ketika saya mau mendengarkan sesuatu dari play list saya. Dalam kondisi biasa, pas mood lagi baik-baik aja, terus saya milih muter lagu-lagu jaman saya muda, artinya saya hanya mau memuaskan keinginan saya saja, karena saya gak tau apa manfaatnya buat diri saya dari lagu-lagu itu. Ya kan suka aja, biar seneng gitu Vi. Bisa rilex. Iya, tadi kita udah bahas kan masalah ini? kalau cara berfikir anak-anak itu hanya menurut apa yang menyenangkan hatinya. That’s all.

Tetapi ketika yang saya putar kemudian adalah murottal –meski awalnya gak biasa- artinya otak saya udah mau mulai diajak mikir. Yah, meskipun masih ngesot-ngesot, yang penting ada usaha. Semoga Allah kuatkan dan  melembutkan hati saya dengan mendengar hal-hal baik itu.

Tapi ini maksudnya bukan ngelarang bersenang-senang lho yaaa..... ini gak 'sesempit' itu. ah saya yakin pada paham lah yaa... 


Nah, kasusnya sama aja kayak mi instan. Waktu saya pingin makan benda itu terus-terusan saya jadi suka mikir. Gimana besok kalau gegara mi yang punya marga ‘instan’ ini mempengaruhi sesuatu mesti duikiiit aja dari diri saya. Terus tar ngebikin si dede bayi nangis goak-goakan karena suatu hal yang kata dokter “ini karena ibunya dulu suka makan jangfut kaya mi instan”. Nahloh kan, saya gak bisa bayangkan gimana saya nyalahin diri saya saat itu, soalnya sebelumnya jelas-jelas saya udah tau kalau itu GAK sehat.

Eh..bentar, maafkan otak saya kalau mikirnya kejauhan ya, bawaan lair je, susah diilangkan. Jadi intinya saat ini saya benar-benar belajar, menguat-nguatkan hati lebih tepatnya untuk meminimalisir seminim-minimnya berdekatan dengan apapun yang kurang bermanfaat kecuali kepepet Itu.

Mungkin ada sebagian yang pingin teriak, Vivi sumpah, kamu lebai parah. Aku kenal si A, hobinya makan jangfut, tapi anaknya bullet-bulet, putih gemuk noh. Jadi gak usah segitunya lah…. Okee.. nyantai gaiss… kan udah dibilangin sama saya, ini cuma masalah pilihan kok. :D
ABAIKAN GAMBAR INI!

Seperti sebuah kebun yang dipelihara keadaannya. Dicukupi pupuknya, dihitung kadar airnya, dijauhkan dari pestisida berbahaya dan dijaga selalu dari para hama. Saat ditanami apa kemungkinan besar yang akan terjadi? Saya cuma mengajak berlogika sederhana, terlepas faktor X disana. Karena sekali lagi memang segala sesuatu Allah yang menentukan, toh kita manusia hanya berusaha. Cuma, bukankah Allah melihat siapa yang bersungguh-sungguh dan memberikan balasan dari apa yang telah diusahakannya?

Kalian para wanita, kelak akan Allah titipkan seorang bayi dari Rahim kalian, yang akan menjadi penerus, kebanggaan dan penyejuk mata. Tidakkah kalian menginginkan yang demikian? Ikhtiarkan dengan mempersiapkan kedatangannya semaksimal yang kalian bisa.
Sesuatu yang baik, lebih memungkinkan dihasilkan dari tempat yang baik, awal yang baik, asal yang baik, dan dengan cara yang baik pula.
–Kata seorang Ustadzah-


Just want give u the best, dear... :')

***

Sebenarnya tulisan njladrah diatas bukan poin dari apa yang ingin saya sampaikan. Saya Cuma mau bilang kalau hidup itu pilihan. Kenapa kemudian saya memilih mi? Mungkin karena itu satu hal sepele yang keputusannya tak perlu diambil sampai dengan cara istikharah. Sekaligus simbol seberapa serius kita berusaha untuk menjadi baik. Berawal dari yang sederhana untuk sesuatu yang luar biasa. Jika dari hal yang sederhana saja kita mau berfikir baik buruknya saya yakin untuk hal-hal yang lebih besar tak akan jadi soal.

Begitu banyak hal didunia ini yang kita merasa senang melakukannya meski kita tahu itu buruk untuk kita. Sebagai penanda bahwa kita memang masih jauh dari dewasa bukan?. Tapi syukurlah Tuhan mencipta ‘pilihan’. Penyelamat diri ditengah nafsu yang –katanya- sulit ditundukkan.

Selain itu, dari mi ini saya cuma mau mengajak berfikir, bahwa sebenarnya semua pilihan ada ditangan kita. Apakah kemudian kita memilih sholat tepat waktu atau mengulur-ulur waktu, memakai celana jins atau celana bahan, memakai baju ketat atau longgar, tersenyum atau cemberut, memilih tidur ba’da shubuh atau tidak, melirik ‘dia’ diam-diam atau menundukkan pandangan, mengeluh atau mengambil hikmah. Semua hanya masalah sederhana yang kita dibebaskan untuk memilihnya, dan kita mampu mengambil yang terbaik jika mau, meski dengan cara menjauh sesuka apapun kita dengan hal itu. Karena, katanya, orang dewasa itu lebih memilih yang bermanfaat bagi dirinya meski hanya sedikit saja. ^^

Terakhir, -katanya lagi-, semua itu hanya masalah Nak atau Tak Nak. Kalau Nak seribu Daya, kalau tak nah sejuta Dalih. kalau kita mau pasti banyak cara, tapi kalau tak mau biasanya banyak wacana. All is just your choice, gaes... (maapkan kalau nulisnya salah :D )
***

Tulisan ini sama sekali tak bermaksud menggurui, hanya ingin berbagi. Karena faktanya sayapun masih banyak melanggar dari apa yang saya tau itu baik, tapi yahh setidaknya saya ada usaha untuk memperbaikinya. Hehe…

Sambil dengerin murotal menjelang magribnya Masjid @UlilAlbabUii
Disore yang bikin kangen sama mi buatan emak dirumah

-Aez--
Read more...
separador
Diberdayakan oleh Blogger.

Salam ^__^

Foto saya
Jogjakarta Hadiningrat, Indonesia
Terkadang tulisan seperti diam, adalah pilihan terbaik disaat hati dan lidah lelah untuk berkata.. Welcome In My Abstract Mind... ^^

Categories

Followers