Kita yang hidup menjalani hidup dengan mengalir seperti air
Mungkin lupa bahwa air hanya mengalir ketempat yang lebih
rendah
***
“Jika
memang Muhammad seorang Nabi”, kata para pemuka Yahudi kepada Zaid bin
Haritsah, “Kau takkan pernah bisa pulang!” kata-kata itu mereka deraskan pada
Zaid menjelang keberangkatannya memimpin pasukan ke Mu’tah. Saat itu
Rasulullah Shallallaahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda kepada sang panglima dan
pasukannya, “Jika Zaid syahid, maka Ja’far ibn Abi Thalib yang akan memimpin
pasukan. Jika Ja’far gugur, maka ‘Abdullah ibn Rawahah yang akan memegang
bendera.
“Sesungguhnya
dulu”, kata orang-orang Yahudi itu, “Apabila Nabi-nabi Bani Israil menyebut
nama seratus orang sebagai panglima, maka dipastikan mereka semua akan gugur.
Jadi, jika memang Muhammad seorang Nabi, Engkau wahai Zaid pasti mati dalam
perang ini!” Apa jawab Zaid? Ibnu Katsir dalam Al Bidayah wan Nihayah merekamnya, “Tak setitik pun keraguan padaku
bahwa dia seorang Nabi. Dan kata-katanya benar lagi dibenarkan dari langit
tinggi!”
Maka 3000
pasukan itu pun berangkat diiringi syair-syair semangat dari panglima ketiga,
‘Abdullah ibn Rawahah. Adapun ia, menangis pada awalnya. Apakah karena takut
kan kematian seperti bisik-bisik para Yahudi? “Bukan!”, tegasnya. Ia lalu
membaca ayat ke-71 dri surat Maryam.
“Dan tidak seorangpun dari kalian melainkan akan mendatangi
neraka itu. Itu bagi Rabbmu adalah suatu kemestian yang telah ditetapkan.” (Q.s. Maryam [9]: 71)
“Aku tidak
tahu bagaimana caranya keluar dari neraka itu setelah mendatanginya”, kata
‘Abdullah. Sahabat-sahabatnya pun menyahut, “Semoga Allah senantiasa menemanimu
dan mengembalikanmu kepada kami dalam sehat sentausa!” Menjawab do’a itu ia pun
bersenandung:
Tetapi
aku, kumohon ampunan kepada Ar Rahman
Dan pukulan keras menghantam buih lautan
Atau hentakan mematikan di tangan yang dahaga
Menghunjamkan tombak menembus kulit kedalam dada
Hingga orang katakan ketika lalui pusaraku
Inilah pahlawan yang mentaati Ilahi
‘Abdullah
ibn Rawahah menegaskan cita tinggi di dalam syairnya ini. dan ketika rombongan
sampai di Ma’an, mereka mendengar bahwa Heraclius, kaisar Romawi, memimpin
sendiri 100.000 bala tentaranya yang lalu digabungkan dengan pasukan Lakham,
Judzam, Qain, Bahra’ dan Baliy yang dipimpin oleh Malik ibn Zafillah hingga
seluruhnya berangka 200.000 prajurit bersenjata lengkap. Bagaimanakh ini,
sedangkan kekuatan pasukan dari Madinah hanya 3000 personel? Satu berbanding
tujuh puluh?
“Kita tulis
surat kepada Rosulullah Shallallaahu
‘Alaihi wa Sallam”, kata seseorang. “Kita beritahu jumlah beliau jumlah
musuh kita. Bisa jadi beliau akan mengirimkan pasukan tambahan. Atau beliau
akan memberikan suatu perintah. Lalu kita taati perintah itu.”
Ada yang
mengangguk. Tapi sebagian besar menolehkan kepala kepada para panglima. Zaid
ibn Haritsah dan Ja’far ibn Abi Thalib terdiam. Zaid seperti biasa memang tak
banyak kata. Sedang Ja’far yang baru
saja datang ke Madinah dari hijrahnya di Habasyah merasa belum berhak banyak
bicara. Mereka lalu melirik ‘Abdullah
ibn Rawahah, sang penyair Anshar. Dalam hati Zaid dan Ja’far mungkin melintas
pendapat, karena sebagian besar pasukan ini terdiri dari kaum Anshar biarlah
‘Abdullah yang bicara. Lisannya yang fasih, kata-katanya yang jernih dan nada
bicaranya yang menggelora akan meyakinkan setiap orang.
“Saudara-saudaraku”.
Kata ‘Abdullah kemudian, “ sesungguhnya apa yang tidak kalian suaki ini justru
merupakan tujuan dan cita-cita keberangkatan kita. Tidakkah kalian merindukan
mati syahid? Kita memerangi musuh bukan mengandalkan senjata dan kekuatan,
ataupun banyaknya bilangan. Kita memerangi mereka hanyasanya mengandalkan agama
ini, yang Allah telah muliakan kita karenanya. Maka dari itu, majulah dengan
barakah Allah! Kita pasti memperoleh satu di antara dua kebaikan; menang atau
syahid!!”
Lalu semua
orang menyorakkan Takbir..
Ambil ini abu Sulaiman!
Benturan
pertama peradaban Madinah dengan Romawi ini diwarnai kisah-kisah agung gugurnya
para anglima. Zaid ibn Haritsah merengsek ketengah musuh membawa bendera
Rosulullah hingga puluhan tombak menyapa tubuhnya, memintanya untuk berhenti.
Dan ruhnya disambut ranjang surga. Ja’far meraih bendera itu, memegangnya denga
tangan kanan hingga lengannya lepas, mendahuluinya ke surga menjadi sayap
berwarna hijau yang kelak dipakainya terbang kemana pun ia suka. Lalu
dipegangnya denga tangan kiri, dan tangan itu pun putus. Lalu didekapnya
bendera itu da dadanya hingga seorang prajurit Romawi membelah tubuhnya. Maka
Ja’far segera terbang di surge. Syair yang bergetar dari bibirnya menjelang syahid
masih terdengar hingga kini.
Oo
indahnya surga, dan betapa ia kian dekat
Harum semerbak, segar sejuk minumannya.
“Jika kau
ikiti kedua pahlawan itu”, gumam sang panglima ketiga, “Kau akan mendapat
petunjuk.” Tapi bersitan keraguan masih meraja dihatinya. Akankah pertempuran
ini diteruskan sementara korban yang jatuh dari kaum muslimin telah demikian
banyak? Hanya dalam beberapa saat dua panglimanya telah memenuhi janji kepada
Allah untuk mati membela agamaNya. Oh, dia sungguh ragu. Tidakkah ini tersia?
Tapi tidak. Dia juga sudah dekat dengan cita-citanya. Pasukan ini milik Allah,
kepadaNyalah ia titipkan jika memang telah tiba saat baginya untuk menyusul
kedua sahabatnya. Maka dia ingatkan kembali sang diri akan cita-citanya.
Syairnya diteriakkan lantang. Biarlah jiwanya yang didalam dada menyimak.
Biarlah tiap makhluk menjadi saksi.
Kenapa
kuliahat engkau tak menyukai surga..
Bukankah telah sekian lama kau tunggu ia dalam cita?
Bukankah kau ini tak lebih dari setetes nuthfah yang ditumpahkan?
Maka dilemparnya
pula sekerat tulang yang tadi dia gigit untuk menegakkan punggungnya. Dia
menjemput cita tingginya. ‘Abdullah ibn Rawahah sang penyair yang dicintai
Allah dan Rasul-Nya itu syahid. Tsabit ibn Aqram Al Ajlani segera meraih
bendera dari pelukan ‘Abdullah dan ia berlari kea rah seseorang yang sibuk
membabat musuh dari punggung kudanya. “Ambil ini Abu Sulaiman!!!”, dia
berteriak.
“Tidak!”,
kata yang dipanggil. “Jangan aku. Engkau ikut perang badar. Engkau lebih
layak!”
“Demi
Allah, ambil ini Abu Sulaima!! Tidakkah aku mengambilnya melainkan untuk
kuberikan padamu!!”
Dan orang
yang dipanggil Abu Sulaiman itu pun mengambil-nya. Di saat itulah, diwaktu yang
bersamaan, dari atas mimbar Masjid Nabawi di Madinah, sang Nabi berlinag air
mata mengisahkan tiga panglima yang diutusnya. Setelah air matanya sedikit
terseka, beliau Shallallaahu ‘Alaihi wa
Sallam bersabda, lalu bendera itu diambil oleh salah satu pedang diantara
pedang-pedang Allah. Dan Allah memberikan kemenangan melaluinya.”
Pedang
Allah itu akrab dipanggil Abu Sulaiman. Nama aslinya Khalid ibn Al Walid.
***
Saya selalu suka siroh. Selalu mentenagai untuk tak
pernah berhenti menjadi orang baik dan menjalani hidup seperti seperti yang
Tuhan mau. Dan entah kenapa, menjadi sangat ‘cengeng’ jika sudah membaca yang
semisalnya. #kuncikamar
Terilhami penuh dari Ust. Salim A. Fillah
_Aez--