:a: :b: :c: :d: :e: :f: :g: :h: :i: :j: :k: :l: :m: :n: :o: :p: :q: :r: :s: :t: :u: :v: :w: :x: :y: :z: :1: :2: :3: :4: :5: :6: :7: :8: :9: :10: :11: :12: :13: :14:

Welcome In my blog

"Kata-kata bisa mengobati atau melukai, memberikan harapan atau merampasnya"

Aez Quote

Not trial and error but trial and learn

Total Tayangan Halaman

Lokinfo

Translate

Tag Cloud

Entry Populer

Rabu, 24 Juni 2015

Sebuah Kisah

Kita yang hidup menjalani hidup dengan mengalir seperti air
Mungkin lupa bahwa air hanya mengalir ketempat yang lebih rendah
***
“Jika memang Muhammad seorang Nabi”, kata para pemuka Yahudi kepada Zaid bin Haritsah, “Kau takkan pernah bisa pulang!” kata-kata itu mereka deraskan pada Zaid menjelang keberangkatannya memimpin pasukan ke Mu’tah. Saat itu Rasulullah  Shallallaahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda kepada sang panglima dan pasukannya, “Jika Zaid syahid, maka Ja’far ibn Abi Thalib yang akan memimpin pasukan. Jika Ja’far gugur, maka ‘Abdullah ibn Rawahah yang akan memegang bendera.

“Sesungguhnya dulu”, kata orang-orang Yahudi itu, “Apabila Nabi-nabi Bani Israil menyebut nama seratus orang sebagai panglima, maka dipastikan mereka semua akan gugur. Jadi, jika memang Muhammad seorang Nabi, Engkau wahai Zaid pasti mati dalam perang ini!” Apa jawab Zaid? Ibnu Katsir dalam Al Bidayah wan Nihayah merekamnya, “Tak setitik pun keraguan padaku bahwa dia seorang Nabi. Dan kata-katanya benar lagi dibenarkan dari langit tinggi!”

Maka 3000 pasukan itu pun berangkat diiringi syair-syair semangat dari panglima ketiga, ‘Abdullah ibn Rawahah. Adapun ia, menangis pada awalnya. Apakah karena takut kan kematian seperti bisik-bisik para Yahudi? “Bukan!”, tegasnya. Ia lalu membaca ayat ke-71 dri surat Maryam.

“Dan tidak seorangpun dari kalian melainkan akan mendatangi neraka itu. Itu bagi Rabbmu adalah suatu kemestian yang telah ditetapkan.” (Q.s. Maryam [9]: 71)

“Aku tidak tahu bagaimana caranya keluar dari neraka itu setelah mendatanginya”, kata ‘Abdullah. Sahabat-sahabatnya pun menyahut, “Semoga Allah senantiasa menemanimu dan mengembalikanmu kepada kami dalam sehat sentausa!” Menjawab do’a itu ia pun bersenandung:

Tetapi aku, kumohon ampunan kepada Ar Rahman
Dan pukulan keras menghantam buih lautan
Atau hentakan mematikan di tangan yang dahaga
Menghunjamkan tombak menembus kulit kedalam dada
Hingga orang katakan ketika lalui pusaraku
Inilah pahlawan yang mentaati Ilahi

‘Abdullah ibn Rawahah menegaskan cita tinggi di dalam syairnya ini. dan ketika rombongan sampai di Ma’an, mereka mendengar bahwa Heraclius, kaisar Romawi, memimpin sendiri 100.000 bala tentaranya yang lalu digabungkan dengan pasukan Lakham, Judzam, Qain, Bahra’ dan Baliy yang dipimpin oleh Malik ibn Zafillah hingga seluruhnya berangka 200.000 prajurit bersenjata lengkap. Bagaimanakh ini, sedangkan kekuatan pasukan dari Madinah hanya 3000 personel? Satu berbanding tujuh puluh?

“Kita tulis surat kepada Rosulullah Shallallaahu ‘Alaihi wa Sallam”, kata seseorang. “Kita beritahu jumlah beliau jumlah musuh kita. Bisa jadi beliau akan mengirimkan pasukan tambahan. Atau beliau akan memberikan suatu perintah. Lalu kita taati perintah itu.”

Ada yang mengangguk. Tapi sebagian besar menolehkan kepala kepada para panglima. Zaid ibn Haritsah dan Ja’far ibn Abi Thalib terdiam. Zaid seperti biasa memang tak banyak kata. Sedang Ja’far  yang baru saja datang ke Madinah dari hijrahnya di Habasyah merasa belum berhak banyak bicara. Mereka lalu melirik  ‘Abdullah ibn Rawahah, sang penyair Anshar. Dalam hati Zaid dan Ja’far mungkin melintas pendapat, karena sebagian besar pasukan ini terdiri dari kaum Anshar biarlah ‘Abdullah yang bicara. Lisannya yang fasih, kata-katanya yang jernih dan nada bicaranya yang menggelora akan meyakinkan setiap orang.

“Saudara-saudaraku”. Kata ‘Abdullah kemudian, “ sesungguhnya apa yang tidak kalian suaki ini justru merupakan tujuan dan cita-cita keberangkatan kita. Tidakkah kalian merindukan mati syahid? Kita memerangi musuh bukan mengandalkan senjata dan kekuatan, ataupun banyaknya bilangan. Kita memerangi mereka hanyasanya mengandalkan agama ini, yang Allah telah muliakan kita karenanya. Maka dari itu, majulah dengan barakah Allah! Kita pasti memperoleh satu di antara dua kebaikan; menang atau syahid!!”

Lalu semua orang menyorakkan Takbir..

Ambil ini abu Sulaiman!
Benturan pertama peradaban Madinah dengan Romawi ini diwarnai kisah-kisah agung gugurnya para anglima. Zaid ibn Haritsah merengsek ketengah musuh membawa bendera Rosulullah hingga puluhan tombak menyapa tubuhnya, memintanya untuk berhenti. Dan ruhnya disambut ranjang surga. Ja’far meraih bendera itu, memegangnya denga tangan kanan hingga lengannya lepas, mendahuluinya ke surga menjadi sayap berwarna hijau yang kelak dipakainya terbang kemana pun ia suka. Lalu dipegangnya denga tangan kiri, dan tangan itu pun putus. Lalu didekapnya bendera itu da dadanya hingga seorang prajurit Romawi membelah tubuhnya. Maka Ja’far segera terbang di surge. Syair yang bergetar dari bibirnya menjelang syahid masih terdengar hingga kini.

Oo indahnya surga, dan betapa ia kian dekat
Harum semerbak, segar sejuk minumannya.

“Jika kau ikiti kedua pahlawan itu”, gumam sang panglima ketiga, “Kau akan mendapat petunjuk.” Tapi bersitan keraguan masih meraja dihatinya. Akankah pertempuran ini diteruskan sementara korban yang jatuh dari kaum muslimin telah demikian banyak? Hanya dalam beberapa saat dua panglimanya telah memenuhi janji kepada Allah untuk mati membela agamaNya. Oh, dia sungguh ragu. Tidakkah ini tersia? Tapi tidak. Dia juga sudah dekat dengan cita-citanya. Pasukan ini milik Allah, kepadaNyalah ia titipkan jika memang telah tiba saat baginya untuk menyusul kedua sahabatnya. Maka dia ingatkan kembali sang diri akan cita-citanya. Syairnya diteriakkan lantang. Biarlah jiwanya yang didalam dada menyimak. Biarlah tiap makhluk menjadi saksi.

Kenapa kuliahat engkau tak menyukai surga..
Bukankah telah sekian lama kau tunggu ia dalam cita?
Bukankah kau ini tak lebih dari setetes nuthfah yang ditumpahkan?

Maka dilemparnya pula sekerat tulang yang tadi dia gigit untuk menegakkan punggungnya. Dia menjemput cita tingginya. ‘Abdullah ibn Rawahah sang penyair yang dicintai Allah dan Rasul-Nya itu syahid. Tsabit ibn Aqram Al Ajlani segera meraih bendera dari pelukan ‘Abdullah dan ia berlari kea rah seseorang yang sibuk membabat musuh dari punggung kudanya. “Ambil ini Abu Sulaiman!!!”, dia berteriak.

“Tidak!”, kata yang dipanggil. “Jangan aku. Engkau ikut perang badar. Engkau lebih layak!”

“Demi Allah, ambil ini Abu Sulaima!! Tidakkah aku mengambilnya melainkan untuk kuberikan padamu!!”

Dan orang yang dipanggil Abu Sulaiman itu pun mengambil-nya. Di saat itulah, diwaktu yang bersamaan, dari atas mimbar Masjid Nabawi di Madinah, sang Nabi berlinag air mata mengisahkan tiga panglima yang diutusnya. Setelah air matanya sedikit terseka, beliau Shallallaahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, lalu bendera itu diambil oleh salah satu pedang diantara pedang-pedang Allah. Dan Allah memberikan kemenangan melaluinya.”

Pedang Allah itu akrab dipanggil Abu Sulaiman. Nama aslinya Khalid ibn Al Walid.
***

Saya selalu suka siroh. Selalu mentenagai untuk tak pernah berhenti menjadi orang baik dan menjalani hidup seperti seperti yang Tuhan mau. Dan entah kenapa, menjadi sangat ‘cengeng’ jika sudah membaca yang semisalnya. #kuncikamar

Terilhami penuh dari Ust. Salim A. Fillah

_Aez--
separador

0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.

Salam ^__^

Foto saya
Jogjakarta Hadiningrat, Indonesia
Terkadang tulisan seperti diam, adalah pilihan terbaik disaat hati dan lidah lelah untuk berkata.. Welcome In My Abstract Mind... ^^

Categories

Followers