Perasaan saya jadi kacau setelah mendapat
jawaban yang diucapkan seperti tanpa berfikir itu. Padahal sesaat sebelumnya
otak usil sayalah yang mendominasi dimulainya pertanyaan tersebut. Awalnya saya
ingin menggoda (seperti biasa) setelah membiarkannya ‘memainkan’ sebelah
telapak tangan saya untuk beberapa saat. Dibayangan saya diapun akan membalas
sama absurdnya.
***
Diambilnya sebelah tangan saya.
Dipegang sana sini, ditimang-timang, dipukul-pukul pelan. Ini anak hobi banget kayak begini. Dimasukkan jari-jarinya diantara
jemari tangan saya. Kita jadi seperti anak TK yang mau nyanyi pentas seni, bergandengan
dengan tangan saling genggam. Emm… mau kena dia kayaknya. Digoyang-goyangkannya
pelan.
“Dek, emang kalau megang tangan
Mbak berasa megang apa?”
Saat otak sudah mempersiapkan
amunisi ejekan paling abstrak untuk menembak
jawaban dia nanti.
“Tangan Ibuku”
Deg..
Spontan. Jawaban singkat yang
dilontarkan sembari tersenyum.
Sedetik, dua detik..
Ya Tuhan,
perasaan apa ini…
“Haissyyhh… sudah. Jangan sentuh-sentuh.”
Narik tangan, pergi dari situ.
...
...
Dasar #cengeng…
***
Bolehlah kita mengaku yang paling merindu,
Akan perjumpa’an, akan sebuah pelukan.
Namun hilangkan kata maha sombong –paling- itu bila orang yang
dimaksud masih bisa kita lihat meski dari kejauhan, atau kita dengar suaranya
dalam diam.
Karena,
Apalagi yang lebih menyakitkan untuk rindu yang telah kita
ketahui pasti
tak memiliki ujung dalam bentuk sebuah pertemuan?
Aez--
0 komentar:
Posting Komentar